Minggu, 30 Juni 2019

Jelajah Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Bandung Selatan Bagian 10: Pantai Ranca Buaya dan Puncak Guha


Pantai Rancabuaya
Perjalanan dari Curug Rahong di kec. Cisewu ke Pantai Rancabuaya di Caringin memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan lagi atau sekitar 25km.  Dari sini kondisi jalannya sudah tidak terlalu ekstrim dibanding jalur Talegong-Cisewu. Menuruni perbukitan mengingatkan saya dengan jalur ke Pantai Jayanti dari Naringgul. Namun yang ketika melewati perkampungan, hal yang pertama kali kami cari yaitu Puskesmas, karena 2 hari ini Revan mengalami masalah pencernaan. Setelah bertemu petugas kesehatan dan dikasih berbagai macam obat dan hanya membayar Rp. 8.000 untuk administrasi.
Mampir ke Puskesmas Rancabuaya karena Revan sakit hehehe
Melanjutkan perjalanan hingga sampai di perempatan yang mana arah kiri dan kanan adalah jalur selatan Cianjur-Garut, dan lurus ke arah Pantai Rancabuaya. Sebelum melanjutkan ke arah pantai yang berjarak sekitar 1km lagi, kami harus membayar tiket di loket Rp. 5.000/orang. Sampai di pantai kami menyusuri jalan sepanjang pantai untuk mencari penginapan. Di sepanjang pantai terdapat banyak berderet penginapan dan warung-warung makan yang menyatu dengan perkampungan nelayan. Mendapatkan penginapan yang sepertinya baru jadi, kami menginap semalam dengan tarif Rp. 250.000/malam. Karena kecapek-an kami memilih istirahat di kamar.
Revan dan Ringgo mengisi waktu luang
Sore-sore kami main ke pinggir pantai yang berada di depan penginapan sambil minum kelapa muda yang banyak dijual di sepanjang pantai. Berharap mendapatkan sunset meskipun cuaca mendung dan tertutup awan. Karang-karang di sepanjang pantai menjadi objek fotografi. Ombak besar yang memecah dan masuk di sela-sela karang dan hijaunya tanaman laut yang menempel di karang menjadi keunikan tersendiri. Di sebelah kiri adalah area bersandarnya kapal-kapal nelayan dan sedikit terjaga dari terjangan ombak besar karena dibangun pemecah ombak. Dan sudah di duga, tidak terlihat matahari terbenam sore itu....
Suasana sunset di pantai berkarang Ranca Buaya
Karena weekday, suasana malam di sini sangat sepi jadi warung makan juga tutup. Untunglah ada satu warung makan meskipun tutup kami masih bisa pesan makan malam meskipun pesanannya datang hampir 1 jam kemudian hahahha..
Menikmati makan malam di pinggir pantai
Senen 15 April 2019
Pagi yang cerah. Karena sinyal GPS di sini kuat saya mencoba menerbangkan drone dari penginapan. Dari atas terlihat putihnya ombak yang memecah silih berganti. Batu karang sepanjang pantai berwarna kecoklatan dengan bentuk tak teratur. Di ujung karang terlihat laut berwarna hijau, laut lepas. Karena kondisi ini maka di sini dilarang berenang karena jika tertarik ombak pantai selatan, akan susah diselamatkan.
Pantai Ranca Buaya dari atas
Bergeser ke arah kiri, terdapat area tempat bersandarnya puluhan kapal nelayan, dengan warna seragam, berwarna biru. Di sini ombaknya terlihat lebih tenang dan lebih bebas dari karang. Bergeser sedikit ke kiri terdapat bukit cadas yang membuat rumah-rumah di bawahnya terhalangi matahari pagi.
Sisi lain dari Pantai Ranca Buaya
Setelah bermain drone, beberes dan kami checkout selanjutnya menuju ke Puncak Guha

Puncak Guha
Jarak Puncak Guha dari Rancabuaya sekita 3.5km, tidak terlalu jauh.  Keluar dari Pantai Rancabuaya kita ambil jalan ke kanan ke arah Pantai Santolo. Nanti di sebelah kanan akan terlihat papan petunjuk ke arah Pantai Santolo. Begitu belok nanti ada loket yang dijaga warga lokal. Tiket masuk kawasan ini Rp. 5.000/orang. Dari loket kendaraan bisa terus sampai ke pinggir tebing Puncak Guha berjarak sekitar 300m. Jalannya berupa tanah merah, melewati kebun.
Gerbang masuk ke Puncak Guha
Kondisi jalan masuk
Puncak Guha berupa tebing cadas setinggi sekitar 50m dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia dan tentu saja berobak besar dan berlapis-lapis menerjang karang. Jadi Puncak Guha bukan berupa pantai berpasir tapi tebing yang menjorok ke laut. Sampai di area ini kami parkir di pinggir tebing dan beristirahat di sebuah gazebo. Hanya terlihat beberapa pengunjung di sini yang berfoto-foto di pinggir tebing bagian kiri yang banyak terdapat pohon pandan.
Gazebo tempat beristirahat
Meskipun berupa tebing, kalau kita menjatuhkan pandangan ke sisi kanan, akan terlihat pantai berpasir kehitaman yang terdapat muara sungai. Karena terlindungi dengan tebing dan muara sungai maka pantai ini tidak ada penghuni ataupun pengunjungnya. Begitu juga di sisi sebelah kiri kita juga bisa melihat garis pantai yang panjang dan berombak besar. Namun begitu saya melihat seoran warga lokal yang naik dari bawah melewati jalan setapak yang ekstrim, mirip jalan setapak di Pantai Kelingking Nusa Penida. Kalau kalian mau mencoba turun, silahkan hahahha…
Pemandangan dari Puncak Guha
Pemandangan dari Puncak Guha
Cuaca bagus dan sinyal GPS juga full jadi sangat tepat untuk menerbangkan drone untuk melihat spot ini dari atas. Dari atas terlihat Puncak Guha yang menjorok ke Samudra Hindia dan diterjang ombak besar. Sementara lautnya berwarna hijau tosca gradasi warna biru dengan ombak bergulung-gulung menghempas karang.
Puncak Guha dari atas

Puncak Guha dari atas
Puncak Guha dari atas
Sementara saya nge-drone, Revan, Ringgo dan Jay berfoto di atas karang-karang yang bertumpuk di area sebelah kiri. Karena karang-karang ini berbatasan langsung dengan laut dalam jadi harap berhati-hati ketika berada di sini.
Bermain dipinggir karang
Lokasi Puncak Guha ini biasa dikunjungi oleh traveler untuk berkemah dan melihat sunset. Di sini tersedia rumah/warung sederhana yang ada sekitar 50m dari gazebo dan juga tersedia toilet. Jadi tidak ada salahnya untuk mampir ke spot ini ketika menjelajah Cianjur Selatan hingga Garut Selatan dimulai dari Pantai Jayanti-Pantai Rancabuaya hingga Pantai Santolo.

Baca juga link terkait:
- Curug Dengdeng-Naringgul
- Curug Ciawitali dan Curug Rahong/Curug Cisewu
- Situ Cileunca
- Kawah Putih dan Kampung Cai Ranca Upas
- Situ Patenggang-Bandung Selatan
- Curug Sanghyang Taraje, Curug Utang dan Cipanas Garut 
- Pantai Santolo
- Curug Cikondang dan Curug Terekel-Cianjur Selatan 
- Curug Citambur-Cianjur Selatan
- Curug Tilu, Kebun Teh Rancabali dan Pantai Jayanti 

Jelajah Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Bandung Selatan Bagian 9: Curug Ciawitali dan Curug Rahong/Curug Cisewu

Perjalanan dari Situ Cileunca ke Ranca Buaya via Talegong dan Cisewu adalah sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Agak mirip dengan jalur Ciwidey-Garut Selatan via Naringgul. Pemandangan yang indah yang tidak terbayangkan sebelumnya. Menyusuri pinggang perbukitan yang terdapat lembah-lembah di bawah dan perbukitan hijau berlapis-lapis. Terutama di daerah Talegong, dari jalan kita bisa menyaksikan pemandangan deretan pegunungan dengan sawah-sawah di kaki bukit hingga ke atasnya. Di selang-selingi oleh kampung-kampung yang membuat pemandangan kontras dengan sekelilingnya.
Melewati jalur yang sangat sepi, melintasi hutan dengan jalan berkelok-kelok tajam dan naik turun yang terkadang ekstrim. Karena berada di perbukitan banyak terdapat spot-spot longsoran.  Sampai di Jembatan Cilayu kami beristirahat di sebuah warung untuk makan siang. Warung yang berada di pinggir sungai besar berair sangat jernih, di naungi pepohonan sehingga membuat enggan untuk beranjak. Meskipun jauh di atas bukit dan jalur sangat sepi tapi harganya makanan tidak mahal, normal seperti warung makan umumnya.
Sungai di bawah Jembatan Cilayu
Makan siang di warung pinggir sungai
Curug Ciawitali
Melewati tanjakan ekstrim sesudah jembatan, kami melanjutkan perjalanan, dan di sebuah tikungan sempit kami melihat ada sebuah curug dipinggir jalan dan kamipun mampir di warung sekaligus beristirahat. Sementara teman-teman beristirahat memesan kopi, saya ke curug yang cuman berjarak sekitar 10m dari warung. Menurut si ibuk yang jaga nama curug ini adalah Curug Ciawitali tapi kalau lihat di Google Maps curug ini dinamakan Curug Cisarua.
Curug Ciawitali berada di pinggir jalan
Saat itu debit air tidak terlalu besar namun kalau liat foto di Maps curug ini saat tertentu debitnya lumayan besar. Tingginya sekitar 20m melewati batu cadas berwarna kehitaman. Air dari curug ini melewati sungai kecil, melintasi jembatan dan terus mengalir ke area persawahan yang ada di seberang jalan. Dari sini ke tujuan kami selanjutnya yaitu Curug Cisewu yang berjarak hanya sekitar 6km lagi.
Curug Ciawitali

Curug Ciawitali
Curug Rahong/Curug Cisewu
Di sebuah jembatan yang lumayan panjang kami melihat curug di sebelah kiri jalan. Terlihat dua tingkat curug dengan air yang berwarna hijau tosca, tidak salah lagi inilah curug yang kami tuju. Parkir di ujung jembatan di pinggir jalan depan warung yang sedang tutup, tidak terlihat ada loket ataupun penjaga di sini. Terlihat plang Curug Rahong di dekat parkiran, karena berada di Cisewu banyak yang mengenal curug ini dengan sebutan Curug Cisewu. Setelah membawa baju ganti kami trekking ke arah sungai yang berjarak sekitar 50m. menaiki bukit dan turun ke bawah kami sudah sampai di pinggir sungai. Terlihat 2 undakan curug yang sangat mengagumkan.
Curug Rahong tingkat 2
Dari parkir/pinggir jalan hanya terlihat 2 tingkatan curug ini, untuk melihat tingkatan pertama kita harus menaiki tebing sebelah kanan hingga mencapai beton saluran air. Terdapat tangga tegak lurus untuk mencapai bagian atas, cukup deg-degan karena jika lepas maka kita akan jatuh langsung ke sungai yang berbatu. Sampai di atas baru terlihat Curug Rahong tingkat pertama.
Naik tangga untuk menuju tingkatan atas
Curug Rahong tingkat pertama ini meskipun tidak terlalu tinggi hanya sekitar 10m namun bentuknya sangat cantik. Air yang jatuh terbelah karea ada batu yang menonjol dan kemudian menyatu kembali, agak mirip Curug Love yang di Sentul tapi ini versi besar nya. Air terjun ini jatuh membentuk kolam yang dalam. Perlu diingat bahwa pengunjung DILARANG berenang di curug tingkat pertama dan kedua yang dalam dan arusnya memutar. Bukan hanya himbuan karena sudah ada beberapa korban tewas tenggelam di curug paling atas (korban terakhir 18 maret 2018) meskipun terlihat tenang. Dan masyarakat local pun tidak ada yang berani berenang di bagian ini. Pengunjung hanya bisa berfoto di pinggiran kolam yang dangkal dan berbatu dan harap berhati-hati jangan sampai terseret arus dan jatuh ke tingkat kedua yang lebih dalam dan ‘bergolak’. Dari tingkat pertama ini kita bisa melihat ke bawah, ke tingkat 2 dan 3 serta aliran sungai serta jembatan di atasnya.
Curug Rahong tingkat 1
Curug Rahong tingkat 1
Curug Rahong tingkat 1

Karena tidak tahan ingin berenang, kami turun ke tingkat ketiga dan berenang. Tingkat ketiga ini curugnya melebar sehingga debitnya terbagi ketika jatuh ke kolam sehingga arus baliknya tidak seperti bagian atasnya. Kolam nya sangat luas dan dalam, di bagian dangkal tiba-tiba kedalamannya 2 meteran. Jadi yang tidak bisa berenang bisa di aliran dangkal yang banyak bebatuannya. Di sisi kiri terdapat batu cadas, pengunjung bisa loncat di sini.
Berenang di tingkat 3
Berenang di tingkat 3
Berenang di tingkat 3
Sangat jarang sekali kami menemukan curug seperti ini, mempunya kolam yang luas, berair sejuk dan bening serta bersih di kombinasikan dengan keadaan alam yang asri dan gratis. Jadi buat kalian yang melewati jalur Cisewu ini sangat rugi sekali jika tidak merasakan kesejukan air curug ini.

Info:
Curug pertama
Nama  : Curug Ciawitali
Lokasi  : Ds. Pamalaya, Cisewu-Garut
Biaya   : free

Curug kedua
Nama  : Curug Rahong/Curug Cisewu
Lokasi : Jl. Raya Cisewu-Ranca Buaya, perbatasan Ds. Pamalayan-Ds. Sukajaya, Cisewu-Garut

Sabtu, 29 Juni 2019

Jelajah Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Bandung Selatan Bagian 8: Situ Cileunca

Trip kali ini melanjutkan trip jelajah Cianjur Selatan, Garut Selatan dan Bandung Selatan yang saya lakukan tahun lalu. Kali ini trip dimulai 13-16 April 2019, tadinya mau lanjut sampai 21 tapi tanggal 17 adalah Pilpres jadinya tanggal 16 harus kembali untuk nyoblos.


Bersama Revan dan Ringgo, kami berangkat dari Bogor Sabtu, sekitar jam 5.15 pagi melewati tol Jagorawi-Cikampek dan macet parah mulai memasuki Cikampek hingga KM 45 karena masih berlangsungnya pembangunan Elevated Toll. Selepas Cikampek terus memasuki tol Purbaleunyi dan di lajut tol Soreang. Keluar Soreang kita mengarah ke Ciwidey. Di pertigaan jika lurus ke Ciwidey kita ambil ke kiri ke arah Pengalengan. Dari Soreang ini ke Pengalengan ini masih berjarak sekitar 30km atau 1 jam perjalanan.



Kondisi jalan memasuki wilayah dataran tinggi tentu saja berbelak-belok dan naik-turun. Hampir tengah hari kami mulai memasuki Pengalengan dan beristirahat sejenak buat makan siang di salah satu warung makan Sunda yang lumayan enak dan ramai di sisi kiri jalan. Melanjutkan perjalanan, nanti kita sampai di pertigaan dimana kekiri ke arah pemandian air panas, dan pembangkit litsrik tenaga panas bumi Wayang Windu serta yang lagi hits rumah tua tempat shooting film Pengabdi Setan. Nah kurang tertarik yang begitu, kami terus ke arah Situ Cileunca yang tidak berapa jauh lagi. Kebetulan juga jalur ini adalah jalur kami selanjutnya menuju Curug Cisewu dan Pantai Ranca Buaya di Garut nantinya. Sebelum sampai ke Situ kami mampir dulu mengisi perut sekaligus beristirahat di sebuah rumah makan Sunda yang terlihat ramai.

Menikmati makan pagi plus siang
Sampai di Situ Cileunca, hal pertama yang kami lakukan pastinya mencari penginapan. Ternyata agak susah mencari penginapan di sini. Biasanya penginapan-penginapan sudah di booking oleh wisatawan yang datang berkelompok-kelompok apalagi pas weekend begini. Umumnya wisatawan datang untuk ke sini ber-arung jeram. Melihat banyak sekali wisatawan yang hilir mudik menggunakan life vest sepertinya mereka sudah datang dari pagi-pagi sekali di sini. Setelah memutari situ sampai 2x akhirnya kami mendapatkan penginapan tepat berada di samping gerbang utama Situ Cileunca. Penginapan yang biasa dipakai untuk gathering sehingga kami bisa check-in setelah mereka bubar sekitar jam 2 lewat.



Info singkat, sebenarnya Situ Cileunca adalah danau buatan tepatnya adalah sebuah bendungan yang dibuat oleh seorang tuan tanah Belanda bernama Kuhlan. Dengan membendung Sungai Cileunca dan membabat hutan di desa Warnasari dan Pulosari, situ ini dibuat selama 7 tahun (1919-1926) dan uniknya pembuatannya menggunakan Halu, yanitu alat untuk penumbuk padi. Situ ini dibuat untuk memenuhi kecukupan air si tuan tanah yang mempunyai tanah seluas 1.400Ha di Pengalengan. Danau ini dikelilingi oleh Perkebunan Teh Malabar yang sekarang dikelola oleh PTPN VIII. Juga, situ ini airnya dimanfaatkan oleh Indonesia Power untuk PLTA yang airnya dialirkan melalui Sungai Palayangan yang juga dijadukan ajang ber-arum jeram. Situ ini mempunyai kedalaman 17m (terdalam).


Salah satu spot yang bagus di sini adalah adanya jembatan penghubung antara Desa Warnasari dan Desa Pulosari. Boleh dikata, jembatan ini juga membelah danau menjadi 2. Di pinggir danau di arah desa Warnasari terdapat dam yang bisa dipakai untuk motor atau sekedar berjalan kaki di pinggir danau. Di bawah dam ini merupakan tanah milik Indonesia Power jadi hanya terlihat satu dua rumah di sini dan area di depan dam jauh lebih rendah dibanding permukaan situ. Sore hari area dam/jembatan ini dijadikan ajang berkumpul anak-anak muda.
Jalan sore di Dam Pulo
Jembatan penghubung Desa Warnasari dan desa Pulosari
Selain berarung jeram, pengunjung juga bisa berkemah di depan danau, melewati gerbang utama. Kalau kalian ingin berkemah harap membawa peralatan lengkap untuk mengusi hawa dingin, untuk makanan tidak usah kuatir karena di sepanjang jalan banyak yang berjualan. Bangun pagi-pagi kita bisa menyaksikan sunrise dari pinggir danau. Untuk masuk ke area wisata kita dikenakan tiket Rp. 5.000/orang, kalau pagi-pagi bisa gratis karena belum ada yang jaga loket. Pagi hari kita bisa menyaksikan kabut tipis dipermukaan danau. Beberapa perahu tua di tengah danau yang dibiarkan hancur bisa menjadi keunikan tersendiri ketika mengambil foto.
Berfoto di Situ di kala sunrise
Berfoto di Situ di kala sunrise
Habis sarapan pagi kami langsung check-out, melanjutkan perjalanan ke arah Garut. Melewati jalur Pengalengan-Garut agak mirip dengan jalur Ciwidey-Cianjur Selatan. Kita akan melewati perkebunan teh yang sangat cantik namun sangat sepi.  Kami berhenti sebentar di salah satu spot untuk menikmati keindahan perkebunan teh di sini. Dari atas terlihat perkebunan teh seluas mata memandang dengan latar perbukitan berlapis-lapis, sangat menyegarkan mata. Selanjutnya kami menuju Pantai Ranca Buaya via Talegong-Cisewu. Hanya saja kita harus berhati-hati terutama ketika musim hujan karena di jalur ini sering terjadi longsor.




Exploring Banten Bagian 2: Curug Kanteh

Dari Karang Bokor kami menuju wisata terdekat searah jalan pulang yaitu Curug Kanteh. Dari Karang Bokor kami mengambil jalan ke arah Serang melewati Pantai Pulo Manuk hingga sampai ke jalan propinsi (Jalan Nasional). Di pertigaan kami ambil kanan ke arah Sukabumi karena ke kiri ke arah Serang. Jalan ini jarang dilewati oleh wisatawan yang ingin ke Sawarna baik dari Sukabumi ataupun dari Serang. Jarak dari Karang Bokor ke Curug Kanteh sekitar 30km.
Jalan propinsi yang kami lewati sangat sepi. Disana sini sedang ada perbaikan jalan jadi kondisi jalannya kurang begitu bagus. Pemandangannya di dominasi oleh perbukitan dan hutan serta perkebunan karet. Nanti di perjalanan kita akan menemukan conveyor belt/pipa berjalan yang membawa material (semen???) dari pabrik di atas bukit hingga ke pantai. Untuk ke Curug Kanteh ini sebaiknya menggunakan Google Maps karena tidak ada petunjuk plang penunjuk arah.
Jalan raya Sukabumi-Banten
Nanti kira-kira 2-3km sebelum belokan desa kita akan melihat dikejauhan di puncak bukit curug ini. Sampai di belokan desa, kita harus masuk sekitar 6km melewati jalan perbukitan dan kondisi jalan tanah dan berbatu jadi sangat susah di akses oleh kendaraan roda 4. Hingga sampai di sebuah rumah, kami parkir dan kebetulan bertemu dengan salah seorang pemuda di sana dan mau mengantar kami ke curug.
Kondisi jalan desa
Perjalanan di mulai melewati kebun, melewati lumbung padi tradisional Sunda dan persawahan. Di kejauhan terdengar sayup-sayup suara musik pesta. Meskipun saya menganggap ini sudah terpencil, masih ada desa-desa yang lebih terpencil lagi di perbukitan dan lembah-lembah tersembunyi. Suasana pedesaan di sini benar-benar sangat terasa apalagi ketika melewati persawahan bertingkat-tingkat. Hingga nanti kita melewati rumah terakhir yang berada di bukit ini. Terus menyusuri sawah di lereng bukit akhirnya kami sampai di bukit di hadapan Curug Kanteh.  Di sini ada seorang bapak yang sedang bekerja membenahi area sekitar curug. Di area ini kita bisa menyaksikan pemandangan desa di kejauhan yang di dominasi oleh hijaunya persawahan dan hutan.
Melewati lumbung padi khas Sunda
Persawahan sepanjang jalan menuju curug
Persawahan sepanjang jalan menuju curug
Pagi yang sudah dipanen
Hanya saja, beberapa hari sebelumnya terjadi longsor jadi kami tidak bisa turun dari jalur biasa. Terlihat bebatuan longsor mengarah ke bawah, ke arah sungai, tidak memungkinkan untuk turun. Akhirnya guide kami mencari jalan turun, sebenarnya ada jalanmemutar tapi karena guidenya belum pernah melewatinya jadi kami muter-muter dengan kondisi jalan yang lumayan ekstrim dan licin.
View curug dari atas
Setelah ketemu jalan setapak hingga ke pinggir sungai tapi tetap saja untuk ke bawah kami harus melewati bekas longsoran. Melewati bekas longsoran yang ringkih kami turun hati-hati karena di depan adalah jurang yang dibawahnya adalah sungai dengan bebatuan cadas. Sampai di bawah kami istirahat sebentar di atas batu bekas longsoran, di sini belum terlihat jelas Curug Kanteh hanya terlihat alirannya saja. Terus berjalan menyusuri pinggiir sungai yang tertutup ranting-ranting berduri (bekas longsor) hingga kami sampai di area depan curug. Mencari posisi di atas batu besar yang membuat deg-degan karena di belakang kami adalah longsoran yang bisa saja setiap waktu terjadi longsor susulan.
Mencari jalan turun
Melewati bekas longsoran
Curug Kanteh terdiri dari 2 tingkatan yang utama dan curug kecil di antara 2 tingkat ini dengan ketinggian sekitar 80m diapit oleh 2 tebing yang tinggi. Karena beberapa hari hujan, debit curug ini sangat besar dan deras jadi kami tidak berani mendekat. di sekitar curug terdapat bebatuan besar, di sini kita bisa mengambil foto-foto dengan latar curug yang cantik ini.  Belum puas rasanya menikmati curug ini, guide kami minta untuk segera naik karena tiba-tiba mendung dan gerimis dan kamipun bergegas untuk segera ke atas.
Curug Kanteh di musim hujan
Curug Kanteh di musim hujan
Curug Kanteh di musim hujan
Jalan santai sampai di parkiran, dan kami memberi tips kepada guide sewajarnya dan melanjutkan kembali perjalanan menuju Bogor. Masih ada sekitar 5 jam lagi perjalanan......
Jadi buat kalian yang hobby ke curug tidak ada salahnya mampir ke sini ketika mengunjungi Sawarna atau dalam perjalanan Sukabumi-Anyer atau sebaliknya. Kalau kalian mau berkemah bisa di lokasi cuman sayang ketika ke sana saya tidak melihat kamar kecil, mudah-mudahan ke depannya lokasi wisata ini akan dilengkapi dengan sarana-prasarana penunjang.

Info:
Nama  : Curug Kanteh
Lokasi  : Desa Cijengkol, kec. Cilongrang, kab. Lebak-Banten
Biaya   : masuk gratis, guide bayar sewajarnya

Baca juga link terkait:
- Carita-Labuan-Tanjung Lesung