Sekitar jam 10 pagi, dari Curug Cibelik kami melanjutkan perjalanan ke Dieng yang diperkirakan memakan waktu sekitar 1.5 jam. Melewati perkebunan teh, kemudian memasuki area hutan-hutan dengan jalan yang masih beraspal bagus. Selanjutnya melewati jalan yang lumayan jelek, berbatu-batu dan lobang. Namun mengingat jalur Batang ini adalah jalur terdekat dari Jaakarta ke Dieng. Meskipun jalannya jelek tapi pemandangan sangatlah bagus. View pegunungan dan kebun-kebun sayuran serta perkampungan yang tersebar di gunung-gunung di sepanjang jalan sangatlah memanjakan mata.
Jalur dari Batang ini berakhir di pertigaan jalan utama Dieng. Sebagai catatan, Dieng ini bukan merupakan nama sebuah kecamatan atau kota, ini adalah sebutan untuk dataran tinggi sepert di Puncak-Bogor. Sebagian besar Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) masuk wilayah Banjarnegara dan sebagian kecil masuk wilayah Wonosobo.
Hal pertama yang kami lakukan di Dieng tentu saja mencari penginapan. Setelah tanya dan telpon sana sini akhirnya dapat penginapan ala jejepangan dekat Mesjid di pinggir jalan. Homestaynya lumayan luas dan terdapat 3 tempat tidur yang digelar sehingga dapat menampung kami berlima. Sewanya Rp. 300.000/malam. Setelah menaruh barang-barang, yang pria melanjutkan sholat Jum’at. Sayangnya habis Jum’at hujan turun hingga Subuh sehingga kami tidak bisa kemana-mana di hari pertama ini.
Jumatan di mesjid ini yang berada di pinggi jalan raya |
Suasana Dieng |
Sebagai catatan, sebagai salah satu wilayah yang terdingin di Indonesia, persiapkan pakaian dan perlengkapan seperti jas, kaos kaki, sarung tangan/kupluk bila perlu karena Dieng sangat dingin di malam hari hehehhe.
Hari kedua di Dieng. Pagi-pagi kami jalan-jalan sambil makan pagi. Nah di sepanjang jalan apalagi di landmark Dieng banyak sekali yang jual sarapan seperti sate, bubur ayam dan makanan tradisional lainnya. Banyak sekali turis yang jalan pagi sambil mencari sarapan pagi.
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng |
Candi Dwarawati terdapat di lereng Gunung Prau. Untuk menuju jalan ini bisa mengikuti petunjuk arah yang ada di jalan utama. Memasuki jalan kecil yang berjarak sekitar 1-2km dari jalan utama kita harus parkir di lahan milik penduduk lokal karena candi ini tidak dikelola secara komersial. Jadi jangan harap di sini ada loket, penjual makanan/cenderamata, tempat istirahat ataupun toilet.
Dari parkir kemudian kita jalan kaki sekitar 100m, ke atas bukit yang tidak terllau tinggi. Hari itu adalah jadwal pembersihan candi, terlihat 2 orang petugas bersiap-siap akan membersihkan candi dengan menggunakan water jet beserta tangga. Komplek candi ini dikelilingi oleh pagar setinggi 1m.
Meminta ijin masuk komplek candi kepada petugas, terlihat hanya kami pengunjung yang datang. Sepertinya candi ini tidak cukup menarik minat wisatawan. Berbeda dengan nama-nama candi di Dieng yang memakai nama tokoh Mahabratha, Dwarawati bukanlah nama tokoh tapi merupakan nama kota di sebuah kerajaan India karena bentuk candi ini mirip candi-candi yang ada di India.
Candi yang dibersihkan oleh petugas jaga |
Candi Dwarawati berbentuk tunggal. Di kiri kanan terdapat reruntuhan candi. Di candi ini juga tidak terdapat arca yang umumnya kita temukan di candi-candi, konon arca-arca nya disimpan di Museum Kailasa (dekat komplek Candi Arjuna) untuk diselamatkan dari pencurian. Karena berada di ketinggian, pemandangan di sini sangat indah, melihat perkebunan sayuran/kentang dan perbukitan yang mengelilinginya. Tidak ada salahnya kalau kalian ke Dieng silahkan mampir ke candi ini.
Blue Team goes to Candi Dwarawati |
Blue Team goes to Candi Dwarawati |
Ada Apa Dengan Kamu..! |
Dari pertigaan ke kanan, pemandangannya berupa kebun-kebun sayur dan lokasi pembangkit-pembangkit listrik tenaga panas bumi. Maklum di sini banyak sekali sumber tenaga panas bumi. Jadi tidak heran kalau di sini banyak terdapat pipa-pipa penyalur panas bumi.
Akhirnya sampai di sebuah tempat pemandian air panas yang tempat parkirnya juga merupakan lokasi parkir ke Kawah Sileri. Setelah bayar tarif parkir Rp. 5.000 kami mendapatkan info bahwa Kawah Sileri di tutup. Karena tidak bisa mendekati area kawah akhirnya kami cuman bisa melihat kawah dengan mengggunakan drone.
Dibandingkan dengan Kawah Sikidang, area kawah aktif Kawah Sileri lebih luas. Tidak tahu mengapa area ini ditutup untuk kunjungan mungkin karena alasan keselamatan. Yang jelas area ini pernah dibuka karena masih terlihat sisa-sisa saung atau tempat beristirahat pengunjung.
Dari parkiran yang di kelilingi oleh pagar kawat kami hanya bisa menyaksikan Kawah Sileri dari jauh. terlihat asap putih dari kawah. Nah walaupun namanya kawah, seperti juga Kawah Sikidang, Kawah Sileri juga tidak mengandung lava atau magma seperti yang ada di kawah gunung-gunung berapi umumnya. Seperti namanya Kawah Sileri berwarna putih (leri=air bekas cucian beras).
Untuk melihat lebih dekat, maka kami menggunakan drone. Dari drone kita bisa melihat penampakan kawah dari atas dan juga pemandangan yang ada di sekelilingnya. Meskipun ada kawah, di sekeliling nya terdapat ladang-ladang sayuran penduduk. Hanya saja, kita harus berhati-hati karena jika kadar sulfur dari asap kawah melebihi ambang batas yang boleh kita hisap, maka akan berakibat fatal.
Kawah Sileri dari atas |
Setelah mengambil beberapa foto, kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Curug Sirawe yang berada di Kampung Bitingan yang berjarak sekitar 2 km dari Kawah Sileri.
Baca juga link terkait:
- Curug Sirawe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar