Minggu, 17 November 2013

Makin Ekstrimnya Perubahan Iklim, Belajar dari Haiyan

Kedahsyatan Topan Haiyan.
MANILA, FILIPINA - Belle Segayo mengunjungi Filipina Selatan untuk mengajari para pejabat setempat mengenai bagaimana beradaptasi dengan masa depan yang berubah karena perubahan iklim.

Namun masa depan tersebut, setidaknya peringatan untuk hal itu, malah datang lebih cepat lewat Topan Haiyan, yang menyembulkan keperihatinan bahwa badai-badai mematikan akan semakin mengancam negara-negara pantai seperti Filipina di masa depan, mengingat samudera terus memanas dan level permukaan laut pun terus naik.

Para ilmuwan berhati-hati mengaitkan badai-badai maut semacam Haiyan dengan perubahan iklim, namun mereka sepakat badai-badai itu akan semakin sering melanda dunia.

"Mustahil saja mengaitkan sebuah peristiwa ekstrem tertentu dengan perubahan iklim," kata Kevin Walsh, profesor ilmu Bumi pada Universitas Melbourne. "Namun dari sebegitu banyak proyek yang dikerjakan menunjukkan kemungkinan siklon tropis yang ekstrem seperti Haiyan akan meningkat di seluruh dunia".

Begitu Topan Haiyan menerjang, Segayo yang merupakan anggota Komisi Perubahan Iklim Filipina, bergegas mencapai bandara kota Tacloban untuk kembali ke Manila. 

Badai yang kecepatan anginnya  314 km per jam dan adalah kecepatan badai tercepat yang pernah tercatat itu, dirasakan langsung Segayo.

"Suaranya seperti babi yang lagi dipotong," kata Segayo merujuk suara badai tersebut. "Kami mengalami langsung apa yang kami telah pelajari."

Badai maut yang menewaskan sekitar 10.000 orang, hanya di kota Tacloban saja, memicu perhatian pada isu perubahan iklim. 

Isu itu muncul ketika sejumlah pemerintahan berkumpul di Warsawa, Polandia, untuk menghadiri putaran terakhir pembicaran mengenai pakta iklim global. Hanya ada sedikit demi sedikit kemajuan yang telah dicapai pada pertemuan itu.

Badai-badai tropis besar --yang disebut siklon, angin ribut dan topan-- memacu ilmuwan iklim untuk mengatasinya.

Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan intensitas badai-badai itu akan meningkat dalam beberapa abad mendatang.

Lebih dahsyat

Kehancuran akibat Topan Heiyan.
Yang menjadi pusat ketidakmenentuan adalah data rinci mengenai perilaku badai yang diperlukan untuk memetakan kecenderugannya, Kata Walsh dari Universitas Melbourne.

Namun salah satu hal nyata, kata Will Steffen, Direktur Eksekutif Institut Perubahan Iklim Universitas Nasional Australia, adalah bahwa perubahan iklim menyebabkan muka air memanas yang membuat badai-badai makin bertambah besar energinya.

"Anda tak bisa menyebut peristiwa tunggal seperti topan yang menerjang Filipina itu disebabkan atau diperburuk oleh perubahan iklim. Namun Anda bisa mengatakan dengan setengah pasti bahwa kita sangat mungkin menghadapi badai-badai yang lebih dahsyat di masa datang," kata dia.

Salah satu wilayah perubahan iklim yang paling mungkin terjadi adalah meningkatnya muka air laut.

Muka air laut yang lebih tinggi berarti badai-badai akan menerjang seperti banjir menyerupai tsunami yang kehancuran di Tacloban bisa menjadi lebih buruk lagi, kata Steffen.

Di Tacloban, muka air laut yang menaik hanya berperan kecil, dengan menyumbangkan sekitar 5 persen bagi timbulnya gelombang setinggi empat meter, kata Jeff Masters, Direktur Meteorologi dari laman Weather Underground.

Itu didasarkan pada kenaikan tingkat muka laut kurang dari dua cm selama abad 20.  IPCC memperkirakan pada abad mendatang muka air laut naik antara 26 sampai 62 cm.

"Sehingga kita bisa memperkirakan badai-badai di masa mendatang seperti Haiyan akan jauh lebih destruktif, akibat meningginya badai karena naiknya muka air laut," kata Masters.

Menyebar

Pola penyebaran Topan Haiyan. | Accuweather
Filipina memiliki sejarah panjang diterjang berbagai macam topan mematikan, kendati tak ada satu pun yang menyamai Haiyan yang telah memutus hubungan ke sejumlah daerah termasuk Leyte, Samar dan Kepulauan Cebu.

Dari sekitar 20 jenis topan yang menerjang negeri itu setiap tahun, kebanyakan menimpa bagian utara, yaitu di sepanjang pulau utama Luzon.

Keperihatian pada cuaca ekstrem diperbesar oleh bergesernya tempat badai menimpa, yang dalam dua tahun terakhir juga menghajar daerah selatan negeri itu yang sebelumnya jarang terjadi.

Desember tahun lalu, sebuah topan kategori 5 dengan kecepatan maksimum angin 280 km per jam menerjang provinsi Davao Oriental yang adalah badai pertama yang menimpa provinsi itu.  Badai ini menewaskan 600 orang dan membuat ribuan orang mengungsi di kawasan Mindanao selatan.

Para ahli cuaca Filipina belum lama tahun ini mengatakan Mindanao tidak lagi menjadi kawasan bebas topan setelah dua tahun berturut-turut diterjang badai-badai kencang.

Badai tropis Washi menerjang pantai barat Mindanao pada Desember 2011, dan memicu banjir dadakan yang menewaskan sekitar 700 orang. Haiyan juga pernah menerjang Mindanao.

"Sebelumnya, badai-badai itu hampir tak pernah melanda Cebu dan Davao. Kini badai-badai itu menerjang daerah itu," kata Jose Maria Lorenzo Tan, Presiden WWF Filipina seperti dikutip Reuters.


Foto: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar