Senin, 21 April 2014

Hakiki dan Esensi Memperingati Hari Bumi

Hari Bumi 2014
Hakiki dan Esensi Memperingati Hari Bumi.
Hari Bumi ( “ Earth Day “ ) tahun ini jatuh pada hari Selasa 22 April 2014. Bumi , oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-IV Jakarta Nopember 2011 memiliki tiga arti.

Pertama : planet tempat manusia hidup, dunia dan atau jagat ( raya ). Kedua : planet ketiga dari matahari. Ketiga : permukaan dunia atau tanah.

Bumi ( dunia ) dalam bahasa Yunani , juga memiliki tiga arti kata. Pertama : ”Geografis” (tempat atau bumi berpijak). Kedua : ”Oukumene” (rumah atau tempat tinggal) dan ketiga : ” Cosmos” ( kosmetik, keindahan atau estetika ).

Bumi yang telah diciptakan oleh Allah untuk manusia , hakikinya, bukanlah semata untuk tempat berpijak (tempat tinggal). Tapi juga sebagai lahan untuk dapat bertahan dan atau mempertahankan hidupnya dengan berusaha dan mengelola sumber-sumber daya alam yang ada semaksimal mungkin dan secara sungguh-sungguh.

Mengelola , bagaimana bumi ( alam semesta ) dapat dirawat, dipelihara, dijaga kelestariannya agar tidak sampai rusak. Meski tak dapat dipungkiri bahwa sudah sepandai-pandainya saja manusia merawat dan memelihara bumi , belum tentu dapat menjamin ketiga unsur bumi ( geografis, oukumene, cosmos ) bisa luput dari berbagai gangguan.

Indonesia dan Fenomena Rasa Prihatin

Beberapa tahun terakhir , bumi pertiwi seolah tak pernah absen dari berbagai rasa prihatin, yang salah satunya adalah akibat tidak pedulinya manusia Indonesia dalam menjaga kelestarian bumi agar tetap memberi manfaat bagi kehidupan manusia.

 Rasa prihatin mendalam , terutama sejak peristiwa bencana alam mengerikan ”tsunami” Aceh 26 Desember 2004 yang menelan korban ratusan ribu orang meninggal dunia, berikut orang hilang dan luka-luka serta rusak/luluhlantaknya berbagai harta benda , rumah , sarana-pra sarana dan berbagai fasilitas lainnya.

Hingga ke bencana gempa dahsyat 7 skala richter pada 2009 yang melanda Sumatera Barat dan menewaskan banyak orang serta memporak-porandakan rumah-rumah, hotel dan bangunan /gedung lainnya , terutama ibu kota provinsinya, yakni Padang.

Lalu pada 2010, bencana alam ( banjir bandang dan tanah longsor ) Wasior, Mentawai dan erupsi gunung Merapi yang kala itu terjadi hampir pada saat yang bersamaan.

Pada 2013- ( awal 2014 ) , terjadi banjir bandang di Manado/Tomohon, banjir bandang Jakarta, erupsi gunung Sinabung dan gunung Kelud serta tanah longsor di Tasik Malaya yang menganjlokkan loko dan gerbong kereta api , dan lain-lain , yang kesemua bencana mana bukan hanya menelan korban harta benda , tapi juga korban manusia tewas yang tak sedikit jumlahnya !.

Histori, Hakiki dan Esensi Memperingati Hari Bumi

Meski di Indonesia peringatan hari bumi belum begitu populer, kecuali hanya di tingkat penggiat dan para aktivis lingkungan hidupnya , mungkin karena kurangnya sosialisasi dan atau sebab-sebab lainnya, bahwa pada setiap tanggal 22 April, Hari Bumi selalu/rutin diperingati secara internasional.

Gerakan Hari Bumi pertama kali dicanangkan pada 22 April 1970 di Amerika Serikat ( AS ) . Penggagasnya bernama Gaylord Anton Nelson , seorang senator Amerika Serikat dari Wisconsin, yang juga sebagai staf pengajar lingkungan hidup yang memiliki komitmen dan kepedulian tinggi terhadap lingkungan.

Gerakan mana  awalnya dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi manusia terhadap planet yang ditinggalinya ( bumi ).  Bahwa fakta yang tak terbantahkan , kala itu dan hingga kini, adalah terjadinya degradasi lingkungan secara besar-besaran yang hampir melanda seluruh penjuru dunia.

Faktor penyebabnya diduga akibat ekploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan tak terkendali. Ataupun oleh karena kemajuan teknologi yang turut menyumbangkan gas dan zat-zat berbahaya kepada lingkungan dan lalu terakumulasi dan mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan.

Lubang ozon dan pemanasan global ( global warming ) , juga merupakan isu penting dan paling mendapat perhatian dalam satu dasawarsa terakhir. Bukan hanya bagi penggiat (aktivis ) lingkungan, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, para ilmuwan, tokoh-tokoh, pakar, akademisi dan para politisi hingga kepada para selebriti dan profesi lainnya di seluruh penjuru dunia , sangat menaruh perhatian lebih.

Gagasan peringatan Hari Bumi oleh Gaylord Anton Nelson mana kontan mendapat dukungan masyarakat luas hingga Hari Bumi di AS pun masuk dalam kurikulum resmi di setiap perguruan tinggi.

Kala itu berbagai dukungan terhadap penyelenggaraan Hari Bumi mencapai puncaknya. Sejarah mencatat terdapat jutaan orang yang turun ke jalan, berdemonstrasi dan memadati Fifth Avenue di New York AS untuk mengecam para perusak ( lingkungan ) bumi. Majalah TIME mencatat , sekitar 20 juta manusia turun ke jalan pada 22 April 1970 tersebut. Sehingga momen inilah menjadi tonggak sejarah peringatan Hari Bumi sedunia yang pertama kali , dimana sejak saat itu , setiap tanggal 22 April pada setiap tahunnya dilakukan peringatan Hari Bumi.

Kampanye Implementasi Peduli ( lingkungan ) Bumi

Peringatan Hari Bumi merupakan kampanye untuk mengajak seluruh manusia untuk lebih peduli terhadap lingkungan hidupnya.  

Hari Bumi mana telah menjadi sebuah gerakan global/mendunia hingga saat ini , dimana pelaksanaannya di seluruh dunia dikoordinir oleh “ Earth Day Network’s “, sebuah organisasi independen yang beraggotakan berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat ) di seluruh dunia.

Timbul pertanyaan krusial, khususnya bagi insani Indonesia, apakah kita hanya ingin menjadi penonton saja , atau sebaliknya, ikut berpartisipasi/ berperan aktif di dalam gerakan ini ?

Sebagai individu yang ikut mendiami dan menikmati (keberadaan, potensi dan keindahan ) bumi ini , seyogianya kita ikut pro aktif didalam berbagai kegiatan yang tujuannya adalah untuk pelestarian lingkungan hidup , mengingat manusia adalah individu yang sehari-hari yang berinteraksi langsung dengan lingkungannya masing-masing.  

Ada cara-cara sederhana dalam berpartisipasi yang bisa kita lakukan, dimana kita tidak perlu ikut berdemontrasi menentang kebijakan-kebijakan para penguasa , yang menguras tenaga, pikiran dan mengeluarkan uang itu, tapi dengan melakukan aksi/cara-cara sederhana dan jitu.

Semisal, selain aktif menulis artikel tentang lingkungan hidup yang dipublikasikan, juga ikut aktif menjaga lingkungannya masing-masing dengan cara-cara sederhana/konvensional.

 Seperti, tidak (lagi) membuang sampah secara sembarangan, ke parit-parit, tepian sungai atau ke sungai.

Tapi membuangnya pada tempat-tempat yang telah disediakan sekaligus menyeleksi sampah-sampah organik dan non organik.

 Apalagi, tidak lagi membuang bangkai-bangkai binatang (tikus, dan lain-lain ) di jalanan , tapi menguburnya.

Lalu membiasakan diri menanam pohon-pohon dilingkungan dan atau dihalaman/pekarangan rumah masing-masing.

Melakukan hemat energi, dengan menggunakan listrik sehemat mungkin. Juga menggunakan kendaraan bermesin secara seperlunya saja , yakni hanya untuk tujuan dan keperluan penting.

Sebab banyaknya asap juga dapat merusak lingkungan ( bumi ) dan kesehatan manusia sehingga perlu mengurangi emisi dan polusi.

Membiasakan diri untuk menggunakan pupuk organik agar tanamaan tumbuh subur dan sehat. Tapi sebaliknya, Pemerintah juga harus menyediakan pupuk organik yang cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau.

Terpenting lain, tidak menebang pohon-pohon hijau pelindung dan atau merusak cagar alam ataupun hutan.

Tidak melakukan pembakaran lahan gambut untuk membuka usaha perkebunan ( land clearing ) hingga mengakibatkan kepulan polusi asap pekat dan pengap yang menyesakkan dada dan menimbulkan penyakit serta aktivitas penerbangan itu , sebagaimana baru-baru ini terjadi dan berasal dari Provinsi Riau, dan sebagainya.

Dengan melakukan hal-hal sederhana sebagaimana tersebut di atas di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sudah melakukan gerakan-gerakan individu “ luar biasa “ dalam menjaga kelestarian bumi.

Plus mengharapkan adanya political will (kemauan politik) berkesadaran berlingkungan dan pelestarian bumi dari pihak Pemerintah dan DPR , untuk memotivasi dan menjadi tauladan bagi masyarakat guna terlaksananya pelestarian bumi.

Selamat Memperingati Hari Bumi !. ***

Oleh: Tomi Adhiyudha SE. 
Penulis : Alumnus FE Univ. Tri Sakti , Aktivis dan Pemerhati Lingkungan , tinggal di Jakarta.

Sumber: Artikel ini sebelumnya telah dimuat di AnalisaDaily.com, demi kepentingan pendidikan artikel ini kami repost di blog ini.

Selamatkan Bumi Melalui Pendidikan

Selamatkan Bumi Melalui Pendidikan.
Hari ini Selasa tanggal 22 April 2014 adalah Hari Bumi Sedunia, keberadaannya jatuh pada tanggal 22 April setiap tahunnya, peringatan Hari Bumi Sedunia untuk mengingatkan kesadaran dan mempunyai kepedulian yang tinggi akan pentingnya kelestarian lingkungan.  Lingkungan menjadi bagian yang paling utama. Sebab, pada lingkungan itulah yang akan dilakukan pembinaan dan penataan yang lebih berwawasan lingkungan. Dan memang kita menempati lingkungan ini; lingkungan yang perlu dijaga kelestariannya.

Lingkungan sekitar sebagai bagian dari wilayah bumi ini perlu mendapatkan atensi yang serius. Lingkungan ini akan mengalami kondisi yang semakin memburuk. Hal itu dikarenakan beban yang semakin berat. Polusi dan destruktivikasi terhadap lingkungan terjadi secara massif dan berkelanjutan. Dampaknya adalah kondisi lingkungan yang semakin parah. Kondisi lingkungan semakin merana. Pada akhirnya, yang terjadi adalah daya dukung lingkungan terhadap manusia dan seluruh makhluk yang ada di atasnya semakin terbatas. Dengan bahasa lain disebutkan bahwa, daya dukung lingkungan menurun.

Selanjutnya, kita harus melakukan berbagai upaya untuk perbaikan yang mengarah kepada revitalisasi dan rehabilitasi kondisi lingkungan. Hal ini perlu dikampanyekan, plus perlu dilakukan oleh semua pihak. Tidak ada yang tidak berkewajiban untuk menjaga daya dukung lingkungan ini. Semuanya berkewajiban yang sama. Sebab, kondisi akhir-akhir ini lingkungan terlihat semakin memburuk.

Menata Lingkungan Sekitar

Penataan terhadap kawasan lingkungan menjadi sangat urgen. Lingkungan sekitar akan dapat memberikan kebaikan yang maksimal untuk kehidupan manusia, jika bisa terjaga kelangsungannya. Kondisi lingkungan yang hijau, bersih, asri, sejuk, nyaman, dan tenang akan memberikan imbas positif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Imbas positif ini akan memberikan nilai tambah bagi kemudahan dalam menikmati hidup. Tentunya, banyak orang yang piknik atau bertamasya selalu menginginkan suasana yang indah, nyaman, dan sejuk, dan bersih. Lingkungan yang seperti itu selalu didambakan. Jika hal itu sudah bisa dimiliki pada lingkungan kita, maka tampaknya kita tidak perlu lagi bertamasya jauh-jauh dari lingkungan kita tinggal.

Setidaknya, untuk bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik, haruslah lebih banyak tumbuhan ataupun pepohonan. Pepohonan dan tumbuhan itu bukanlah tumbuh dengan sendirinya. Hal itu perlu diupayakan. Perlu dilestarikan. Perlu ditanam serta dipelihara. Hal ini yang sangat perlu untuk membuat kondisi lingkungan menjadi lebih baik. Hal ini berguna untuk lebih menegaskan pentingnya kesadaran terhadap lingkungan dengan menanam dan merawat pohon agar bermanfaat bagi sesama.

Penanaman pohon tersebut merupakan salah satu pemanfaatan lahan yang positif.  Harapan awal lahan yang sebelumnya tanpa tanaman bisa berubah menjadi lebih hijau. Sehingga menanam pohon di manapun tempatnya, akan menjadikan lingkungan lebih segar. Dengan tujuan agar daya dukungnya semakin meningkat.

Penanaman pohon-pohon besar yang rindang akan berfungsi efektif mengurangi pencemaran udara dengan menyerap gas karbondioksida dan menghasilkan oksigen yang banyak dibutuhkan makhluk hidup. Pohon-pohon ini juga membantu menciptakan iklim mikro dengan memberikan hawa yang sejuk nan asri. Fungsi konservasi juga dijalankan yang berperan pada perlindungan dan konservasi tanah dan air.

Kontribusi Pendidikan dalam Gerakan Hari Bumi Sedunia

Selamatkan Bumi Melalui Pendidikan
Mahasiswa menggelar aksi dalam rangka memperingati
Hari Bumi di Solo, Jateng, Minggu (13/4).
(Ant/Akbar Nugroho Gumay/Koz/Spt).
Mereka mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan
lingkungan dengan mengurangi polusi serta
mengurangi penggunaan kantung plastik.
Kurikulum pendidikan di sekolah, selain untuk mewujudkan generasi yang cerdas juga harus diorientasikan kepada generasi yang berwawasan lingkungan. Konsep ini mengandung makna bahwa harus muncul kesadaran para peserta didik pada lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat diwujudkan dengan kognitif afektif, dan psikomotor yang mendukung secara positif terhadap lingkungan.

Pengembangan aspek kognitif, afektif,dan psikomotornya harus berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan lingkungan hidup di sekitarnya. Untuk itu, perlu pula dirumuskan secara operasional materi pelajaran yang berbasiskan lingkungan. Materi pelajaran harus tetap relevan dan linear dengan upaya menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan.

Materi pelajaran mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Pendidikan Tinggi pada struktur kurikulum harus menyematkan upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar mencintai lingkungan. Hal ini bisa dilakukan dengan pendalaman, pemahaman, serta praktik yang ditunjukkan melalui lingkungan pendidikan.

Hal di atas dilakukan dalam rangka memberi kontribusi terhadap Gerakan Hari Bumi Sedunia. Sebab, peringatan Hari Bumi Sedunia tersebut tidak hanya sampai pada teori serta seremonial. Tetapi lebih penting adalah dengan memberikan wujud nyata dengan kepedulian yang tinggi atas realitas kondisi lingkungan di sekitar kita.

Masyarakat pendidikan (guru, pelajar, kepala sekolah, dan tenaga administrasi pendidikan) harus memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya perbaikan kondisi lingkungan. Secara simultan, berkelanjutan, berencana, dan terprogram agar ada kontribusi yang dilakukan untuk memberi daya dukung terhadap lingkungan. Daya dukung lingkungan yang maksimal akan memberikan nilai positif kenyamanan dan ketentraman lingkungan sosial.

Penutup

Kiranya dengan memperingati Hari Bumi Sedunia 2014 kiranya seluruh bangsa ini bisa memelihara keberlangsungan lingkungan yang terbaik semua itu memerlukan dukungan kolektif. Sejatinya, tidak ada pihak manapun yang bisa merusak lingkungan. Kita harus menjaganya secara maksimal, juga secara bersama.

Ayo lindungi bumi ini dengan perilaku positif terhadap lingkungan.

 Selamat Hari Bumi Sedunia 2014!. ***

Oleh: Sri Martini Sembiring, S.Pd., M.Pd. 
Penulis adalah Guru SMP Negeri 1 Teluk Mengkudu – Kabupaten Serdang Bedagai – SUMUT

Sumber: Artikel ini sebelumnya telah dimuat di AnalisaDaily.com, demi kepentingan pendidikan artikel ini kami repost di blog ini.

Minggu, 06 April 2014

Orang Bajo di Surga Bawah Laut

Orang Bajo di Surga Bawah Laut
Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
BAJUNG lahir kira-kira 50 tahun lalu. Perawakannya kekar. Kulitnya legam. Ia tampak lebih muda dari usianya. Pada saya ia berkata bahwa  angka 50 itu adalah pemberian kepala desa Mola saat ia mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mayoritas to sama—atau  peneliti asing menyebut mereka,  sea gypsy—tak tahu umur mereka sendiri seperti Bajung. Nenek moyang mereka tak mengenal budaya tulis-baca. Mereka hidup nomaden di laut dan hanya pandai melagukan iko-iko.

Pendahulu Bajung menyebut Wakatobi sebagai kepulauan  Toekang Besi. Ada empat pulau yang masuk wilayah  Wakatobi, yaitu Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko  Tiap satu suku kata dalam nama tiap pulau itu menyumbang satu suku kata untuk nama Wakatobi.  Dulu gugus pulau ini dinamai Toekang Besi untuk mewakili sejarahnya yang dimulai di pulau terujung, Pulau Binongko.

Pada abad ke-14,  warga Binongko  menunjukkan pengabdian mereka dengan cara menempa bijih besi jadi senjata tajam untuk  diserahkan pada kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut
Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Seperti orang Bajo umumnya, Bajung menetap di Wakatobi karena alasan sederhana: laut telah menyediakan segalanya. Ia cukup menarik layar dan menjatuhkan pancing bila menginginkan ikan. Loncat ke laut bila hendak mandi, atau tatap semburat merah matahari untuk menghilangkan kepenatan. Desa Bajung dikenal dengan nama desa bahari  Mola Utara, berbatasan dengan  Mola Selatan di pesisir Wangiwangi.  Dua kampung ini  tumbuh perlahan tanpa kepastian tata ruang  sejak tahun 1950-an.  Wilayah seluas 5 kilometer persegi ini  tak mungkin lagi tumbuh di darat dalam arti harafiah. Pertumbuhan  desa ini justru memanjang ke arah laut, mendekati zona-zona pelayaran dan pemanfaatan umum.

Pernikahan dini di usia 13 sampai 17 tahun membuat jumlah jiwa orang Bajo naik cepat, dan ini diikuti dengan pertumbuhan rumah-rumah panggung baru  semimodern, ruang tamu berpondasi batu karang, sedang dapur dan kakus tetap berada di atas riak-riak air laut.

Pernikahan dilakukan  untuk menyelesaikan kemiskinan. Tapi bisa dihitung dengan jari pasangan yang berhasil memperbaiki nasibnya dengan cara ini.

Pernikahan dini juga menjauhkan anak-anak muda Bajo dari sekolah. Tapi penyebab utamanya bukan itu. Ekonomi yang amburadul telah mendepak mereka dari bangku sekolah. Selain itu, orang Bajo tidak melihat perbedaan penting antara sekolah dan tidak sekolah.

‘Sekolah tinggi, tapi hanya orang darat yang diterima kerja,’ kata Haseng.

Usia lelaki ini 42 tahun, berasal dari Mola Selatan.  Ia punya lima anak. Empat di antaranya perempuan dan menikah di usia antara 15 sampai 17 tahun.

‘Itu ada anak tetangga kuliah, tapi tidak kerja juga,’ celetuk Ani, perempuan usia 20 tahun. Ia memiliki tiga anak dengan suami yang saban hari melaut.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut
Pemukiman Suku Bajo.
SAYA mengunjungi Mola pada Oktober 2009. Ada sekitar 5.500 orang Bajo yang menghuni  desa ini. Mereka hidup komunal,  tanpa membaurkan diri dengan warga darat di kepulauan Wangiwangi.

Suara mereka hiruk-pikuk di tengah lagu dangdut, pop cengeng,  jeritan kanak-kanak, suara mesin perahu tempel, dan teriakan nelayan dari  parkiran perahu. Namun, kegaduhan siang hari ini akan lenyap ditelan malam gelap. Dari kejauhan, kampung ini seperti melayang damai di atas air, berkelap-kelip.  Tak ada yang terbebani dengan mimpi jangka panjang konservasi, meski mereka hidup  dalam taman nasional Wakatobi.

Pada 1996 Wakatobi ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan tujuan mulia. Luasnya 1, 39 juta hektar di sudut Sulawesi Tenggara.  Kekayaan lautnya menempatkan Indonesia dalam posisi segitiga karang dunia (coral triangle). Selain Wakatobi, kawasan lindung lainnya adalah Raja Ampat di Papua Barat, Teluk Cendrawasih juga di Papua, Nusa Penida  di Bali, Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur, Taman Bunaken  di Sulawesi Utara, dan Kepulauan Derawan  di Kalimantan Timur.  Semua kawasan itu dilindungi untuk memenuhi gagasan besar menyelamatkan dunia.

Wilayah yang disebut no take zone ditetapkan pada  2007. Zona yang dilindungi ini berada jauh dari permukiman penduduk. Sedang zona pemanfaatan umum, wisata dan pelayaran didekatkan ke permukiman.

Pemerintah mencoba melibatkan warga Wakatobi dalam dua program besarnya, yaitu perikanan berkelanjutan dan ekoturisme.  Pemerintah bermimpi bahwa pelibatan warga di sektor perikanan berkelanjutan dan ekoturisme akan membantu mengurangi angka pengrusakan ekosistem di taman nasional. Mimpi ini tak mudah terwujud. Metode taman nasional memerlukan kesatuan gerak dan itu sayangnya, tak terjadi di kabupaten yang usianya baru tujuh tahun ini.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut
Pemukiman Suku Bajo.
Saya mewawancarai bupati Wakatobi, Hugua. Ia tipe yang meledak-ledak. Latar belakangnya sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat membuatnya bisa bekerja lebih dari 18 jam sehari. Sudah enam tahun Hugua memimpin Wakatobi, tapi gagasannya untuk mendukung taman nasional tak mampu dijabarkan secara sederhana oleh orang-orang di pemerintahannya.

Saya bertanya pada sejumlah warga, apa yang mereka ketahui tentang turisme di Wakatobi. Jawaban mereka bermacam-macam.

‘Turis berenang dan menyelam.’

‘Peneliti datang.’

‘Nadine Chandrawinata datang ke kampung Bajo.’  Nadine salah seorang Putri Indonesia, yang pernah berkunjung ke Wakatobi.

‘Banyak restoran baru.’

‘Banyak hotel baru milik orang darat.’

‘Pejabat punya resort.’

Celakanya, separuh program yang ditujukan untuk mendekatkan warga pada pelestarian lingkungan justru berorientasi fisik dan infrastruktur semata. Bahkan, tidak ada kaitan langsung dengan program ini.  Jembatan, kakus, sekolah dibangun di mana-mana. Tapi mana program yang bisa mendorong  warga untuk mewujudkan mimpi taman nasional Wakatobi?

Kepala-kepala dinas di pemerintahan Wakatobi dipilih lantaran kompromi politik dan di kepala mereka tentu saja tak ada strategi apa pun untuk taman nasional itu.  Kekacauan politik lokal berdampak pada kehidupan kelompok minoritas Bajo.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut.
Pemukiman Orang Bajo di Surga Bawah Laut.
Wakatobi dihuni sekitar 110 ribu jiwa, yang menyebar di empat pulaunya. Jumlah suku Bajo hanya10 persen dari jumlah keseluruhan warga. Meskipun begitu, orang Bajo menempati urutan pertama untuk jumlah kasus pelanggaran di kawasan taman nasional.

Mereka telah melakukan sejumlah hal yang dinilai mengancam taman nasional, seperti menggunakan  bom dan racun ikan, membentang pukat, mencungkil batu karang, mengambil pasir, menangkap penyu, atau membuang sampah sembarangan.

Pada  2009 saja terdapat 172 penambang batu karang asal perkampungan Mola. Jumlah ini turun jadi 72 penambang di tahun 2010. Kampanye stop batu karang yang disertai ancaman hukum telah mendorong angka penambang batu karang menyusut dalam satu tahun.

‘Lalu mereka beralih ke pekerjaan apa?’ tanya saya pada Sadar, orang Bajo yang bekerja di sebuah lembaga swadaya international Wakatobi.

‘Yang beruntung dan punya modal bisa ke perikanan tangkap laut dalam atau karang. Mereka yang kurang beruntung justru beralih  menjadi penambang pasir dalam kawasan taman nasional,’ jawabnya.

Untuk mengurangi tindak kriminal orang Bajo, Dinas Perikanan dan Kelautan Wakatobi menyumbang kapal penangkap ikan yang sayangnya kini teronggok di pesisir pantai.

‘Kapal itu dibuat di luar Wakatobi. Pembuatnya tak paham laut kami dan desain yang pas bagi orang Bajo. Jadi kapal itu keok di sini,’ kata Mustamin, kepala desa Mola Selatan.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut.
Anak-anak Suku Bajo.
Beralih pekerjaan bukan hal mudah bagi orang Bajo. Saya menemui Effendi. Sama seperti Bajung, usianya 50 tahun. Ia warga Mola Selatan.

Effendi sudah lama jadi penambang batu karang. Semula ia mengambil karang untuk menimbun laut di depan rumahnya. Lama-kelamaan, ia mulai menerima pesanan dari tetangganya, lalu dari orang darat. Untuk yang terakhir ini pada umumnya adalah kontraktor yang hendak membangun kantor pemerintahan Wakatobi.

‘Suatu ketika saya ditangkap aparat, dan saya bilang, silakan tangkap. Tapi mohon ingat, semua jembatan yang digunakan oleh orang Wakatobi  hari ini berasal dari batu karang. Lagipula masak main larang-larang dan tidak memberi kami solusi?’ tuturnya.

‘Pemerintah selalu bilang, bikin vila, bikin resort, tapi mereka hanya bilang ini-itu, namun tak mendukung kami,’ kata Hapsah, perempuan pengrajin anyaman di Mola Selatan.

Barang anyaman Hapsah sering diikutsertakan dalam pameran-pameran yang diselenggarakan pemerintah.

‘Pemerintah mengambil barang kami, dan membayarnya lamaaaaa sekali. Apa mereka tak pikir betapa pentingnya uang Rp 50 ribu bagi keluarga kami?’ Ia bingung mengapa orang-orang di pemerintahan selalu berutang untuk ‘uang-uang kecil,’ istilahnya untuk jumlah rupiah yang tak seberapa bagi kantong pejabat itu.

Tiap kali kunjungan pemerintah di perkampungan Mola selalu diakhiri dengan janji ‘akan ada bantuan’. Kalimat ini menyihir warga Bajo, membuat mereka berprasangka satu sama lain. Mereka diliputi oleh sikap saling curiga.

‘Ada saja yang berpikir  bantuan sudah turun,  tapi diterima si anu, si ini, Si A atau Si B. Betul-betul menjengkelkan. Jadi pergilah pemerintah, kami tak butuh kalian,’ lanjut Hapsah, jengkel.

Menurut Hapsah, bantuan yang paling masuk akal untuk perkampungan Mola adalah mesin jahit yang secara bergilir digunakan puluhan ibu-ibu pengrajin. Di saat pesanan tas dari bahan olahan sampah melimpah, mesin jahit menjadi benda yang diperebutkan dan sumber pertengkaran.

***

Hapsah termasuk perempuan Bajo beruntung. Ia bisa bekerja menafkahi dirinya. Anak gadisnya, Zukni, juga menjadi sosok aktif dan terkenal di perkampungan Mola. Zukni bisa menyelam. Ia pernah jadi asisten juru kamera untuk sebuah film. Ia atlet dayung dengan sejumlah medali. Sayangnya, Zukni tak bisa mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliahnya.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat ikut mendorong kelompok-kelompok Bajo ambil bagian di bidang ekoturisme.  Lagi-lagi, ini upaya lembaga-lembaga itu untuk menjauhkan orang Bajo dari pekerjaan yang mereka anggap merusak lingkungan Mereka mengajari orang-orang Bajo membuat dodol rumput laut dan dendeng ikan.

‘Katanya, kalau kami bisa buat dodol dan menjualnya, kami tentu berhenti menambang pasir. Tapi di mana pasar barang ini?’ kata Rostiana.

***
Orang Bajo di Surga Bawah Laut
Anak-anak suku Bajo di Surga Bawah Laut.
Saya kembali berkunjung ke Wakatobi di bulan Oktober 2011 dan terhenyak menyaksikan program pendukung infrastuktur  telah mengubah wajah perkampungan Bajo.

Jalan lebar yang dibangun pemerintah telah menutupi selokan tempat sampan-sampan orang Bajo Mola berlalu-lalang. Kanak-kanak Bajo kehilangan tempat berenang.  Sampah menumpuk di selokan bercampur kotoran manusia.

Sebuah bangunan kakus umum  berwarna perak dibangun di depan masjid Mola Utara. Tujuan pembangunan kakus itu mulia, agar orang Bajo tak mencemari laut dengan cara buang hajat mereka yang dianggap tak bertata krama pada laut. Tapi tim pembangunan kakus ini tidak peka.  Bagi orang Bajo yang memeluk Islam, keberadaan kakus besar depan masjid itu adalah tindakan pelanggaran.

Untuk mengentaskan kemiskinan, program pinjaman lunak yang dibayar harian, mingguan, bulanan beredar di rumah-rumah warga Bajo ini. Kini bisa dihitung dengan jari jumlah warga Bajo yang tak memiliki utang. Utang dikeluarkan oleh lembaga swadaya masyarakat, bank, dan renternir. Bunga pinjaman bervariasi antara  10 persen sampai 50 persen. Pinjaman dilakukan dengan berbagai tujuan: memasang sambungan listrik, perbaikan rumah, bayar uang sekolah, biaya pengurusan paspor untuk ke Malaysia, biaya nikah, modal membuat kue.  Suku yang tak pernah mengenal kata ‘utang’ ini mengalami transformasi sebagai suku pengutang terbesar di perkampungan kecil ini.  Begitu mereka terperosok dalam jerat renternir, maka hanya keajaiban yang membuat mereka bisa bebas dari belitan utang.

Jauhnya mata rantai pasar Wakatobi dari nelayan lokal telah membuat nelayan Bajo jadi sasaran empuk renternir, yang bisa semena-mena menurunkan harga ikan.

Marsudin memiliki utang Rp 30 juta, dari utang awal Rp 9 juta, setelah tak pernah mampu memberikan hasil tangkapan ikan kerapu pada bos pemberi utang—salah  satu renternir berkedok orang baik hati di kampung Bajo. Kini Marsudin tak bisa tidur nyenyak.

Bajung berurusan dengan polisi karena lalai membayar utangnya sebesar Rp 1,6 juta (versi Bajung) di tahun 2000 an dan Rp 2 juta (versi pemberi utang). Semua transaksi utang dibuat tanpa catatan. Kalaupun ada catatan, kertas itu kusut-masai, tak terbaca.

‘Padahal tiap setengah bulan saya datang dari lokasi pemancingan untuk menyetor kerapu-kerapu. Tapi utang tak lunas-lunas,’ ujar Bajung.

Bajung kemudian mencoba peruntungan lain.  Ia berurusan dengan Bank Rakyat Indonesia.  Ia menggadaikan sertifikat rumahnya untuk modal pinjaman Rp 5 juta. Ia mengganti KTP dua kali atas suruhan kepala desa dan membuatnya kehilangan Rp 300 ribu untuk seluruh proses pembuatan dokumen kependudukan itu. Rumahnya di foto. Ikan-ikan yang hendak dijual ke pasar diangkut ke sampannya, lalu  ia diminta berpose. Klik, klik, klik…. Foto terbaru dicetak  sebagai bukti ia memiliki alat usaha.

Berutang membuat hidup Bajung benar-benar tidak tenang, Ia melunasi utangnya tujuh bulan lebih cepat.

Inilah perubahan dan kerumitan dalam hidup orang Bajo berkaitan dengan kawasan surga bawah laut Wakatobi.***


***Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Loka dan IndoProgress. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Penulis: Indarwati Aminuddin, sedang menyelesaikan program magisternya di jurusan Leisure, Tourism and Enviroment di Wageningen University, Belanda.

Sulawesi Tenggara Luncurkan Hallo Sultra 2014

Sulawesi Tenggara Luncurkan Hallo Sultra 2014
Wakatobi National Park.
Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki banyak kekayaan berupa potensi wisata. "Hallo Sultra" menjadi promosi Sulawesi Tenggara yang diluncurkan oleh Pariwisata dan Ekonomi Kreatif oleh Menteri Mari Pangestu. 

"Ini berkaitan dengan hari jadi Sultra ke-50, pada 27 April 2014 mendatang. Akan ada perhelatan besar di Kendari, dan beberapa kegiatan mulai 21 April," kata Mari pada konferensi pers peluncuran 'Hello Sultra' di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kemenparekraf, Jumat 28 Maret 2014.

Mari mengatakan, Sulawesi Tenggara memiliki potensi wisata luar biasa. Antara lain, diving, budaya dan sejarah. "Saya sudah diving di Buton dan Wakatobi, sangat luar biasa," kata Mari.

Beberapa potensi wisata di sana, antara lain, Benteng Buton yang terpanjang dari Kesultanan Buton, emas dan perak, wisata diving kelas dunia di Wakatobi, kuliner, sampai tenunan khas.

Menurut gubernur Sultra, Nur Alam, Sultra menjadi masa depan pariwisata Indonesia."Kawasan timur bergiat untuk tampilkan keunikan baru dari situs adat budaya dan locus pariwisata," katanya.

Ia mengatakan, pada 21 April hingga puncak acara 27 April 2014 akan ada pertunjukan yang melibatkan masyarakat setempat, " Dan ada pertemuan para wakil adat nasional, dihadiri 34 provinsi di Indonesia," kata Nur Alam. 

Selain tambang emas dan nikel yang menjadi pendapatan utama, menurut Nur Alam, sektor pariwisata terus membaik. Salah satunya, Pulau Muna yang memiliki ciri khas perkelahian antar kuda, lalu ada wisata alam Lambusano, hutan alam yang salah satu bakterinya sedang diriset oleh Amerika Serikat karena dianggap langka dna bisa mengurai minyak. "Dan industri perak dan emas yang terpelihara sejak zaman Belanda hingga kini masih terpelihara dengan baik," kata Nur Alam.

Sulawesi Tenggara Luncurkan Hallo Sultra 2014
Map Wakatobi National Park.


Sumber: TEMPO.CO

Nepal Wajibkan Pendaki Everest Bawa Turun Sampah

Nepal Wajibkan Pendaki Everest Bawa Turun Sampah
Sampah di Everest.** Foto: NAMGYAL SHERPA / AFP
KATHMANDU, -- Pemerintah Nepal, Senin (3/3/2014) mengatakan semua pendaki dan seluruh tim pendukung yang mendaki Gunung Everest diharuskan mengangkut sampah delapan kilogram ketika turun gunung.

Seorang pejabat pemerintah, Madhusudan Burlakoti, mengatakan kepada BBC bahwa peraturan baru akan berlaku bagi semua orang yang mendaki di atas Kamp Pangkalan Gunung Everest di ketinggian 5.300 meter. Peraturan baru akan diterapkan mulai April mendatang.

Keputusan untuk menerapkan peraturan ini diambil setelah muncul keprihatinan meluas terkait polusi di dan sekitar gunung tertinggi di dunia ini.

Wartawan BBC di ibu kota Nepal, Katmandu, Surendra Phuya, mengatakan gunung terkenal tersebut biasanya banyak dikunjungi para pendaki, khususnya selama musim pendakian Musim Semi mulai bulan depan.

Para pendaki diharuskan membawa sampah turun ke pos pengumpulan yang akan didirikan di pangkalan.

Dawa Sherpa, seorang manajer ekspedisi perusahaan Asian Trekking, menyambut keputusan pemerintah karena akan membantu menjaga kebersihan gunung, seperti dilaporkan kantor berita AFP.

Sebelumnya kantor pariwisata Nepal mengumumkan penempatan tim pemerintah di pangkalan pendakian guna mengawasi dan membantu para pendaki, mengatur pendakian, menyiapkan upaya penyelamatan, serta melindungi lingkungan.

Nepal mengeruk pendapatan besar dari pendakian gunung yang pertama kali ditaklukkan oleh Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 1953.


(**) Dalam foto yang diambil pada 23 Mei 2010 ini, seorang sherpa asal Nepal sedang membersihkan sampah yang ditinggalkan para pendaki Gunung Everest di ketinggian 8.000 meter di atas permukaan laut. Mulai April mendatang, pemerintah Nepal mengharuskan tiap pendaki membawa turun setidaknya delapan kilogram sampah dari puncak gunung itu.

Sumber: BBC Indonesia | Kompas

Jumat, 04 April 2014

Ditemukan Spesies Baru Kukang Kalimantan

Nycticebus kayan
Nycticebus kayan spesies baru Kukang Kalimantan.
Program Rehabilitasi Kukang Borneo Menemukan Spesies Baru Kukang Kalimantan
Primata termasuk jenis kukang ini memiliki racun yang mematikan melalui gigitannya. Spesies ini baru saja ditemukan di Kalimantan oleh para peneliti.

Penemuan yang dilaporkan dalam Jurnal Primatologi Amerika ini sebelumnya dikategorikan sejenis lemur karena mirip monyet atau kera. Kukang dengan nama Nycticebus kayan itu memiliki gigitan beracun yang bisa membunuh manusia. Racun tersebut terdapat di kelenjar siku yang terhubung ke mulutnya.

"Kukang lamban ini terlihat seperti tidak berbahaya dengan mata lebar yang lucu namun sebenarnya termasuk mamalia paling berbisa di dunia," ucap Profesor Anna Nekaris. "Racunnya menimbulkan anaphylactic shock berujung kematian. Saat terancam bahaya kukang ini mengambil racun ke dalam mulutnya dan mencampurnya dengan air liur."

Tim peneliti gabungan dari Oxford Brookes University di Inggris dan Munds University of Missouri di Columbia, Amerika Serikat, ini mengatakan kukang ini banyak ditemukan di hutan Kalimantan dan Filipina. Nycticebus ini sudah dimasukkan dalam daftar "hampir punah".

"Tiga jenis terbaru di Kalimantan, akan ditambahkan dalam daftar merah IUCN sebagai spesies yang terancam punah," lanjut Anna. "40 persen primata dunia sudah terancam punah." (wk/mr - foto.flens) - The Bornean Slow Loris Care.

spesies baru Kukang Kalimantan
Nycticebus kayan spesies baru Kukang Kalimantan.
spesies baru Kukang Kalimantan
Nycticebus kayan spesies baru Kukang Kalimantan.
spesies baru Kukang Kalimantan
Nycticebus kayan spesies baru Kukang Kalimantan.