Minggu, 01 Desember 2013

Cerita dari Pesisir Nusantara: Ironi Orang Halmahera Timur

Nelayan Halmahera, Buli, Halmahera Timur
SAYA lahir dan dibesarkan di kampung Buli, Kecamatan Maba, Kebupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara—tempat bermacam-macam perusahaan tambang mendaratkan eksafator dan buldozer untuk mencukur habis pulau-pulau kecil, gunung dan tanjung yang ada di sini. Saya tak bisa menarik diri dari keterlibatan emosional dengan krisis sosial-ekologi di kampung saya. Singkatnya, saya tidak bisa memposisikan diri sebagai pengamat. Yang hanya bisa saya lakukan: menceritakan apa yang saya dengar, saya lihat, dan saya rasakan.

Saya tak berurusan dengan objektivitas dan netralitas, sebagaimana dituntut oleh dunia akademisi. Posisi saya adalah korban, mungkin juga ‘pelaku’ dari apa yang biasa disebut ‘pembangunan.’ Seiring dengan berjalannya waktu, semua persoalan yang tak habis-habisnya melilit kebebasan kami. Saya mulai sangsi dengan kata pembangunan. Kemerdekaan yang melilit kami ini hampir tak ada jedah untuk menarik nafas sebagai tanda lega.

Nasib kami di sini mirip budak yang dijajah. Setelah ruang hidup kami direnggut, tanah direbut, air tercemar. Lebih dari itu, sejarah perlahan-lahan digilas oleh  penanda-penanda baru yang tak kami kenal sebelumnya. Tulisan di bawah ini adalah cerita dari perspektif sebagai korban pembangunan dan investasi.

Kilas Kisah Halmahera Timur

Sebelum menjadi Kabupaten otonom, Halmahera Timur adalah bagian dari kabupaten Halmahera Tengah. Geliat pemekaran pasca-Reformasi menghembuskan angin baru, sehingga mulailah tokoh-tokoh setempat berkonsolidasi menuntut sebuah kabupaten otonom. Maka jadilah kabupaten Halmahera Timur dimekarkan pada 2003.

Dengan alasan kabupaten baru, ruang investasi pun dibuka. Tahun 1997 adalah awal mula bercokolnya perusahaan tambang (nikel). Setelah sebuah pulau kecil di depan kampung Buli—pulau Gee—kecamatan Maba, berhasil dikuasai PT. Antam—yang dikerjakan oleh PT. Minerina Bhakti. Tak butuh waktu lama, berdatangan pula rupa macam perusahaan tambang: PT. Aneka Tambang, Yudistira Bhumi Bhakti, Heng-Fung, Haltim Meaning, dll.

Tahun 2007, warga mulai membentuk kelompok-kelompok kecil, menyusuri hutan, gunung dan tanjung. Tujuannya satu: mengkapling tanah. Ratusan bahkan miliaran rupiah dikantongi setelah perusahaan-peruahaan tambang membayar lahan milik warga. Beralihlah kepemilikan hutan dan kebun ke penguasaan PT. Antam dan perusahaan-perusahaan tambang. Tak tanggung-tanggung, pemerintah daerah memberi Kuasa Penambangan (KP) dalam jumlah besar: 51.320 Ha. Dengan area yang luas itu, gunung yang kokoh di pesisir Buli hingga penghabisan kecamatan Maba, kini menjadi area tambang. Beberapa pulau-pulau kecil yang mestinya tidak dialihfungsi kini jadi area tambang. Puluhan kapal-kapal ekspor berjejer di laut teduh Desa Maba Pura. Bila malam, teluk kecil Maba Pura ini bak kota mengapung.

Setiap hari, jumlah kapa-kapal itu meningkat. Setelah pemerintah pusat menetapkan UU Minerba yang mengharuskan adanya pengelolaan komoditi di dalam negeri. Sementara itu, pemerintah daerah menetapkan tarif—sumbangan pihak ketiga: 500-700 rupiah per ton (disesuaikan dengan pakasitas kapal ekspor).

Hilangnya Ruang Hidup

klik untuk memperbesar peta.
Kampanye pembebasan lahan dan iming-iming ganti rugi lahan memiliki daya tarik yang sangat kuat, sampai-sampai membuat petani kelapa dan nelayan meninggalkan mata pencaharian mereka. Desa Maba Pura misalnya, sebelum perusahaan tambang datang, kampung ini terkenal sebagai lumbung ikan lebih khusus lagi ikan teri.

Rumah-rumah papan yang berderet sepanjang pesisir pantai Buli hilang sama sekali. Pemukiman-pemukiman sementara seperti Pekaulang, Babatim, Loau, Sen dan Pacigua adalah tempat petani kopra menjalani aktivitas. Di situ pula memoar masa kecil kita terpatri.

Masuknya perusahaan-perusahaan tambang ini disertai iming-iming lapangan kerja:  delapan puluh persen orang Halmahera Timur dan 20 persen dari luar Halmahera Timur. Setelah semua janji-janji kesejahteraan dan jaminan pekerjaan tak terbukti, barulah seorang warga nyeletuk, ‘Sebenarnya, saat tambang ke sini, seorang laki-laki pernah membimbing kami menolak pertambangan dan semua janji-janji perusahaan itu. Hanya saja, kami tidak terlalu menanggapi serius, karena sibuk mengkapling tanah.’

Mengapa masyarakat tani dan nelayan tiba-tiba jadi pemuja tambang, sementara terjadi aksi tolak tambang di beberapa daerah di Halmahera? Sebut saja Kecamatan Gane Halmahera Utara. Mengapa Kecamatan Maba dan Maba kota, memberi ruang amat besar, hingga perusahaan tambang lenggak-lenggok dengan leluasa?

Saya berusaha memungut cerita seputar sejarah tambang di kampung, persisnya di Buli kecamatan Maba, yang kini sedang dibangun pabrik Ferro-Nikel oleh PT. Antam. Saya seperti yakin betul bahwa alam pikiran masyarakat telah terjangkiti racun tanah merah dengan mantera kemajuan yang mereka baca.

Tahun 1990-an adalah mula PT. Geomin—ujung tombak PT. Antam melakukan aktivitas pengeboran tanah. Tak hanya itu, mereka juga membangun interaksi dengan masyarakat layaknya keluarga besar. Kedekatan emosional tersebut dibangun oleh tokoh-tokoh masyarakat di kampung. Pemuda-pemuda kampung yang polos dan tak tahu apa-apa  diiming-imingi pekerjaan. Para pimpinan mereka menjalin asmara dengan gadis-gadis kampung, mensponsori pesta muda-mudi, menjadi donatur ragam acara seremonial, bahkan menyekolahkan orang-orang lokal yang dipandang berbakat membaca tanah dan hasil alam (nikel) yang melekat didalamnya. orang kampung dihipnotis dengan desa jadi kota, jembatan layang, mall tempat hiburan malam dll–begitu yang selalu kami dengar.

Krisis Sosial-Ekologi

Barulah sekarang saya menyadari janji-janji itu adalah ilusi. Akhir cerita, kami justru terpisah dari ruang-ruang kehidupan semula: ada jarak antara kami dengan tanah dan air. Hutan dan kebun jadi area tambang, sedangkan perairan biru berganti warna menjadi kuning kecoklat-coklatan akibat aktivitas pertambangan yang jauh dari asas keselamatan manusia dan alam.

Nelayan ikan teri yang masih tersisa tak henti-hentinya mengeluh. Mereka bertahan di atas sisa hasil sekedarnya. Sebelum tambang beroperasi, mereka mendapat rata-rata 2-3 ton ikan teri per bulan, dan kini hanya 200-300 kilogram.

Namun begitu, kerusakan lingkungan yang nyata tak juga menyentil masyarakat sebagai penghuni tanah dan air Halmahera Timur. Khususnya di Buli dan Maba (pusat percepatan krisis di Halmahera). Warga telah dihipnotis melalui kata pembangunan. Statusnya berubah dari warga negara pemilik sah tanah dan air, menjadi pengikut Antam, pemuja modal.

Sekali lagi, ruang hidup dan sejarah tercerabut dari tangannya sendiri. Warga harus bertahan hidup di tengah komitmen pemerintah yang sangat minim atas pemberdayaan sektor riil. Sementara itu, logika pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah pusat membuat PT. Antam dan perusahaan tambang habis-habisan memeras tenaga, keahlian, dan waktu para pekerja tambang. PT. Antam menjalankan logika birokrasi ketat mirip kerja rodi. Tak jarang, buruh tambang ini bertukar kunci di atas mobil, waktu makan hanya belasan menit, usai Idul Adha dan Idul Fitri karyawan dijemput bus tambang, shalat tarawih digeser ke jam dua belas malam, hari Minggu diubah jadi lembur-full, dan karyawan akhirnya memilih kerja daripada ibadah. Itulah tuturan buruh tambang di sini, di Halmahera Timur.

Di sini relasi kuasa juga bermain begitu rupa. Tanjung Epa, berganti nama jadi Pos Bandung. Bila Anda sesekali mengunjungi area tambang itu, akan menemukan nama-nama seperti ‘Pos Bandung’, Pos Jakarta’ juga Pos Chicago—dalam area tambang ada kota besar. Saya pun membatin: mengapa tak dinamai Bus-bus, Bukumatiti, Kukuba—tempat orang Haltim bergulat dengan tanah pohon kelapa. Bukankah nama adalah identitas. Bukankah dari nama sungai, tanjung, teluk, dan pulau itu ada cerita leluhur di sana? Ada sejarah di sana?

Apa jadinya jika nama ‘Baharuddin’ dipanggil Susilo, apa yang hadir dalam benak Anda? Kami dijebak untuk hidup dengan imajinasi ‘yang lain’ dari tanah dan air juga sejarah yang tercermin dalam nama dan simbol pemberian orang tua kami.

Undangan Terbuka

Bagi para psikoanalis yang mahir membaca bawah-sadar, arkeolog yang pandai merekonstruksi sejarah, ekonom yang mengerti tata kelolah sumber produksi dan distribusi,   sosiolog yang menelaah sebab-sebab perubahan sosial,  awak media yang gemar memburu berita, pun siapa saja, datanglah ke sini, ke Halmahera Timur, Buli dan Maba, agar kami dapat keluar dari mimpi-mimpi pembangunan, dan kembali kepada sejarah dan ruang hidup kami. Sebab, kami adalah warga negara yang berdaulat atas tanah dan air di bawah pemerintah daerah yang benar-benar otonom. Kami dapat mengurus dirinya sendiri berbekal identitas sejarah dan kulturnya sendiri. Kami merasa dikeberi oleh Pemerintah Pusat karena harus menerima megaproyek MP3EI itu.

Selamat datang di Haltim, negeri dengan investasi triliunan rupiah yang krisis air bersih, listrik, jaringan komunikasi, dan kebudayaan!***

***Ismunandar, bermukim di kampung Buli, Halmahera Timur


Sumber: 
Artikel: IndoPROGRESS|oleh: Ismunandar|diunggah IndoPROGRESS pada 25 November 2013 
Foto: garudacompetition.com|Title : Nelayan Halmahera|Location : Buli, Halmahera Timur|Name : Nurtjahjo Prianggono Nurtjahjo Prianggono|Country : Indonesia
Peta: Loket Peta|loketpeta.pu.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar