Kamis, 02 Januari 2014

Selamatkan Keindahan Pulau Bangka di Minahasa Utara

Pulau Bangka Munahasa Utara
Sejak beberapa tahun terakhir entah kenapa saya ingin sekali menjejakkan kaki di bumi Selebes, satu di antara lima pulau terbesar di Indonesia. Sebab dari lima pulau besar itu, hanya Sulawesi ini yang belum saya jejaki. Sebenarnya sejak tiga tahun terakhir saya sudah pernah ke Sulawesi, tapi cuma sekadar transit 20 menit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, yang saya habiskan untuk sekadar menyeruput kopi di sela perjalanan udara yang panjang menuju Papua.

Di minggu kedua Desember tahun 2013 ini, saya mendapat kesempatan untuk menginjakkan kaki di Sulawesi, tepatnya di bagian utaranya, Kota Manado. Tujuan saya kali ini adalah sebuah pulau kecil bernama Bangka, di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Dulunya yang saya tahu hanyalah Pulau Bangka yang ada di Bangka Belitung, provinsi bontot di Sumatra setelah dimekarkan dari provinsi induknya Sumatra Selatan pada tahun 2000. Saya juga kenal Bangka setelah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata booming. Kemudian diikuti banyaknya liputan sejumlah media tentang sisa-sisa keindahan Pulau Bangka itu. Kenapa sisa? Karena keindahan alamnya telah tergerus oleh kerukan tambang timah. Di masa kejayaannya yang hanya dinikmati segelintir orang saja, pertambangan timah membuat kehidupan masyarakatnya tersekat dalam blok kaya yang memperoleh pendidikan “moderen” dan blok miskin yang hanya bersekolah ala kadarnya. Paling tidak itulah gambaran Andrea Hirata dalam novelnya yang memang terinspirasi dari pengalaman hidupnya sendiri.

Dan terakhir yang saya tahu tentang Pulau Bangka adalah sebuah ironi. Ironi pertambangan timah di pulau ini diekspos melalui investigasi mendalam yang dilakukan Friend of the Earth international (Walhi di Indonesia) seperti dirilis Mongabay Indonesia akhir tahun 2012 lalu. Dalam laporan itu, FoE menemukan bahwa sejumlah produsen smarthpone terkenal seperti Apple dan Samsung menampung timah dari hasil pertambangan ilegal di Bangka.

Bukan saja dua produsen itu, komponen timah yang terdapat di Blackberry, Nokia, Sony, Motorola dan LG ternyata juga berasal dari pulau ini. Selain tentang legalitas, ironi lainnya adalah kondisi para petambang itu sendiri yang tidak dilengkapi dengan standar kerja yang baik. Belum lagi bicara soal limbahnya yang dibuang begitu saja ke laut dan bekas tambangnya yang menjadi danau-danau buatan yang beracun dan dibiarkan begitu saja tanpa restorasi. Pulau Bangka di Sumatra kini telah menjadi sejarah bahwa pertambangan hanya menyisakan kenistaan bagi alam dan kehidupan di dalamnya.

Sementara Pulau Bangka kedua yang saya ketahui adalah sebuah pulau kecil di ujung utara Sulawesi. Pulau Bangka di Kabupaten Minahasa Utara ini baru saya kenal setelah membaca berita di sejumlah media di beranda facebook saya yang diposting teman-teman. Dan Pulau Bangka kedua ini juga indah, indah sekali namun kini sedang terancam oleh pertambangan bijih besi.

Ketika saya mendapat kesempatan untuk terbang ke Manado pada Desember lalu, bersama rekan kerja, kemudian kami memanfaatkan waktu untuk berkunjung ke Pulau Bangka kedua ini. Saya tahu bagaimana sebuah pulau bisa hancur oleh pertambangan dan sungguh tidak ingin sejarah pertambangan Pulau Bangka di Sumatra berulang di pulau eksotik ini.

Lama perjalanan dari Kota Manado ke Pulau Bangka memakan waktu sekitar 2,5 jam yang 1,5 jam pertama harus menggunakan jalan darat menuju Pelabuhan Likupang lalu dilanjutkan dengan perahu mesin ke arah utara selama kurang lebih 1 jam berikutnya.

Namun perjalanan saya ke Pulau Bangka harus delay satu hari karena saya harus mengumpulkan informasi sedetail dan seterkini mungkin tentang situasi keamanan di pulau kecil itu. Tersebab penghuni di pulau kecil itu kini sedang dalam ketegangan karena persoalan tambang. Perusahaan Mikgro Metal Perdana (MMP) adalah pangkal balanya. Perusahaan tambang milik China ini telah memperoleh izin eksplorasi tambang biji besi di pulau seluas 4.700 hektar ini. Izinnya mencapai 2 ribu hektar. Padahal menurut Undang-undang Nomor  27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa pertambangan di bawah pulau dengan luas 200 ribu hektar tidak diperbolehkan, apatah lagi kurang dari 5 ribu hektar.

Dan benar saja, jika saya tidak undur sehari, maka saya akan berada di tengah-tengah ketegangan antara dua anggota Brimob dan belasan warga Desa Kahuku pada 10 Desember malam itu. Malam itu dua anggota polisi Brimob diusir warga karena dinilai mengganggu keamanan desa.

Pulau bangka minahasa utara
Brimob bersenjata laras panjang mengawal PT MMP, insert Senjata.
Di Pulau Bangka, setidaknya ada empat anggota Brimob yang bertugas menjaga kepentingan perusahaan pertambangan PT MMP yang malam tanggal 10 Desember itu dua di antara mereka kembali mencoba untuk menginap di Desa Kahuku, desa yang mayoritas masyarakatnya menolak tambang. Dari sekitar 120 KK di sana, hanya sekitar 13 KK yang menerima tambang. Selain itu menolak. Di rumah salah satu warga yang menerima tambang itulah, dua anggota brimob menginap.

Senin malam itu mereka kembali mencoba menginap lagi setelah kejadian penganiayaan yang mereka lakukan terhadap dua warga Desa Kahuku, Markus Wogono (33) dan Dandi (21). Pengeroyokan itu sendiri terjadi pada akhir November dengan dalih ada isu bahwa Markus akan menganiaya pekerja asing di perusahaan tambang MMP, dua anggota Brimob menghajarnya. Kejadian itu telah dilaporkan ke pihak berwajib, tapi laporan warga yang menolak tambang tidak pernah digubris serius.

“Ini bagian dalam sakit (menekan bagian dada kiri). Ditikam dengan popor senjata. Gigi atas patah (karena) dimasukkin ujung senjata,” kata Markus yang beristri warga Desa Kahuku. Meski telah menjadi korban penganiayaan akibat penolakannya atas tambang, Markus mengaku tidak gentar sedikit pun.

Markus hanyalah satu di antara lebih dari setengah jumlah penduduk Pulau Bangka yang menolak masuknya tambang. Markus juga hanyalah satu di antara beberapa orang yang telah menerima dampak kekerasan dari pilihannya mempertahankan pulau eksotik itu dari ancaman kerusakan.

Lain halnya dengan Dandi (21). Ia kini terpisah dengan sang Ibu yang lebih memilih menerima tambang. Dandi kini tinggal dengan saudaranya yang lain. Perbedaan pendapat soal tambang di pertengahan tahun 2012 membuat Dandi dan Ibunya sering cek-cok. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima uang dari perusahaan.

Pulau Bangka didiami oleh sekitar 700 kepala keluarga atau 2 ribu lebih jiwa yang tersebar di empat desa, Kahuku, Lihunu, Libas dan Ehe. Desa terakhir Ehe adalah desa pemekaran dari Kahuku. Pemekaran ini juga terjadi karena campur tangan politik perusahaan yang ingin memecah warga Kahuku yang mayoritas menolak tambang. Dan Ehe adalah salah satu keberhasilannya mempengaruhi sebagian kecil warga Desa Kahuku unutk menerima tambang yang kini menjadi basis perusahaan.

Dan pada malam itu, saya menyaksikan langsung intimidasi itu. Saat asik bermain gaplek bersama tiga opa, tiba-tiba handphone Opa Potros berdering. Tidak ada percakapan dua arah kecuali Opa Potros yang terus mempertanyakan apakah ia kenal dengan si penelpon. Kami semua menyimak dan menduga-duga apa yang sedang dibicarakan si penelpon. Namun kemudian Opa William (65), tokoh masyarakat Desa Kahuku yang juga jadi lawan main gaplek saya meminta Potros mematikan hp-nya.

“Memang akhir-akhir ini kami sering ditelpon orang yang tak dikenal,” kata Om William  menenangkan suasana.

Sekitar 120 kepala keluarga Desa Kahuku dirundung kecemasan. Intimidasi dan ancaman fisik terus mengancam masyarakat yang menolak perusahaan tambang. Jika malam telah larut dan arus listrik di desa itu dipadamkan, maka saatnya semua pemuda “memasang” telinga baik-baik. Banyak intimidasi yang dipasang yang tujuannya bisa memicu kekerasan.

“Kita bilang ke anak-anak. Jangan buat masalah yang bisa memberatkan kita. Karena kita tetap di bawah lindungan hukum. Mereka cari celah. Dorang umpan. Kamu makan umpan itu, langsung (diseret ke ranah hukum). Hati-hati,” tambahnya.  

Menurut Opa William, kedamaian yang terusik dua terakhir sebenarnya berawal pada tahun 2008 ketika Bupati Minahasa Utara mengeluarkan izin kuasa pertambangan seluas 1.300 hektar kepada PT MMP. Lalu diikuti izin eksplorasi pada tahun-tahun berikutnya yang menambah luas izin pertambangan menjadi 2 ribu hektar. Ini berarti hampir setengah dari luas Pulau Bangka.

Baik perusahaan maupun pemerintah tidak pernah mengadakan sosialisasi sebelum izin-izin itu diterbitkan. Sehingga yang muncul adalah ketidakpercayaan masyarakat atas janji-janji investasi tambang. “Yang ada hanya dusta. Coba tunjukkan dimana ada tambang yang tidak merusak,” kata Opa menantang.

Pemerintah mengklaim Pulau Bangka memiliki kandungan biji besi hingga mencapai 17,5 juta ton. Dari 4,700 hektar luas pulau, sekitar 2 ribu hektar  telah dialokasikan untuk kawasan pertambangan dengan dampak yang nyata adalah pemindahan 750 kepala keluarga ke kawasan baru yakni hutan bakau.

Pulau Bangka akhir-akhir ini menjadi satu di antara tujuan para penyelam. Kekayaan hayati laut menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pariwisata. Tercatat setidaknya ada lima resor milik swasta asing yang menggantungkan bisnis mereka pada kelestarian alam laut Pulau Bangka.

Save Bangka island
Pesona Pantai Kahuku, Pulau Bangka, Minahasa Utara.
Menurut seorang peneliti dari laboratorium Mata Karang, dari 500 genus terumbu karang yang tercatat di dunia, 80 persen di antaranya terdapat di pulau ini. “Tingkat biodiversitinya sangat-sangat tinggi. (Kekayaannya biodiversitinya) Jauh di atas Bunaken yang kini sudah turun,” ujar peneliti biota laut berkebangsaan Italia pada pertengahan Desember lalu kepada saya.

Sejumlah mamalia seperti Dugong (Dugong dugon) yang status konservasinya kini rentan sering menampakkan diri di sejumlah titik penyelaman. Begitu juga dengan beberapa jenis hiu dan penyu. “Ini adalah surganya pygmy, binatang kecil seperti nudibranch, Sea horse. Malahan Sea horse ini bisa dilihat di pinggir pantai,” ujar seorang pengelola resort di Pulau Bangka yang berkebangsaan Belanda.

Mengenai keindahan taman laut pulau ini, bagi Anda yang tidak mudah percaya dengan omongan orang seperti saya, maka datanglah ke sini saat Anda punya waktu luang. Anda akan membuktikan bahwa keindahannya luar biasa. Seperti lirik lagu Kaka Slank berikut ini yang video klipnya diambil saat Kaka berkunjung dan menyelam di perairan ini. Video ini didedikasikan untuk perjuangan masyarakat Pulau Bangka menolak tambang bijih besi.

Hijau lepas memandang

Daun dan pohon liar

Burung biru melintas

Ku tak tau namanya.

Tapi indah.... Indah sekali

Ooo indah....sampai ke hati


Gunung tinggi menjulang

dingin menembus tulang

Burung kecil bernyanyi

Ku tak kenal namanya

Tapi merdu... Merdu sekali

Ooo merdu... sampai di hati... (Slank)


Dan benar saja, selama tiga hari saya di Pulau Bangka, tidak henti-hentinya saya memandangi pantai berpasir putih dan tepian laut dangkal yang berwarna hijau dan biru. Seringkali ikan berwarna dan terumbu karang lembut terlihat mudah dari pinggir pantai. Di sore harinya saya berenang sembari snorkeling dan hanya di kedalaman 2 meter saya melihat nudibranch berwarna ungu mengkilap sedang bermain di karang yang berwarna coklat, hanya 20 meter dari tepi pantai. Saya juga menyaksikan puluhan jenis ikan berwarna indah, yang indahnya sampai ke hati. Termasuk melihat belut laut yang bersembunyi malu di batu karang. Dan tak terasa, sudah empat jam rupanya kami melayang-layang di atas taman laut itu.

Ketika kami makan malam, si pemilik resor yang berkebangsaan Belanda menceritakan bahwa seharusnya kami menemukan sea horse – kuda laut di sekitar hamparan rumput laut yang ada di sepanjang pantai dan itu hanya berjarak 5 meter dari pantai. “Ahhhh.... kesal sekali kenapa baru bilang sekarang,” geramku kesal.

Keindahan Pulau Bangka bukan saja terdapat di lautan, tetapi juga di daratan. Di hutan-hutan kecil di pulau yang berbukit-bukit itu dihuni sejumlah hewan seperti rusa, kuskus dan tarsius satwa endemis Sulawesi yang status konservasinya rentan punah. Pulau ini juga menjadi tempat penting migrasi sejumlah burung liar. Suara merdu burung-burung di pulau ini bisa Anda dengarkan di pagi hari. Dan begitu merdu, merdunya sampai di hati. Dan tentu saja keindahan serta kekayaan laut dan darat inilah yang menjadi alasan bagi warga Pulau Bangka terutama Desa Kahuku untuk mempertahankannya dari operasi buruk pertambangan.

Saya jadi tertegun dengan pertanyaan Om William, di mana ada pertambangan yang tidak merusak alam sekitarnya? Jangankan memikirkan tailing atau limbah pertambangan ketika mereka sudah beroperasi, ancaman kerusakan itu pun kini sudah nyata di mana ketentraman masyarakat telah terenggut oleh perpecahan kubu pro dan kontra akibat hasutan dan rayuan perusahaan. Bahkan 750 kepala keluarga terancam pasti relokasi jika proyek ini dilanjutkan.

Kekhawatiran Om William sama seperti yang dirasakan Kaka “Slank” yang juga turut aktif berkampanye menolak pertambangan PT MMP di Pulau Bangka ini dan ia menulisnya dalam petisi yang digagasnya bersama sejumlah LSM seperti Greenpeace, Change.org, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), AMMALTA (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Sulut) & Tunas Hijau.

“Peraturannya aja uda jelas ga memperbolehkan! Pulau yang di bawah 5000 hektar ga boleh ditambang.Pengadilan tinggi Makassar udah perintahkan supaya ijinnya dicabut! Tapi masih aja berjalan,” tulis Kaka.

Apalagi sekarang putusan MA pun menolak pengajuan kasasi Pemkab Minahasa Utara yang berarti pemerintah harus segera mencabut izin eksplorasi pertambangan di pulau kecil ini. Namun sejak akhir September lalu putusan MA dikeluarkan, belum ada eksekusi dari putusan tersebut.

Kaka kemudian memperkuat alasan kenapa ia turut menolak tambang dan berdiri bersama ribuan warga desa yang mempertahankan desanya. “Kedua, daerah itu kan bagian segitiga terumbu yang udah dijanjiin perlindungannya oleh enam kepala negara, termasuk Pak SBY. Kalau rencana ini jadi, pasti ancur semua, dan keindahaan laut kita bisa hilang. Ketiga, kalau terumbu karang ancur, ikan pada ilang, otomatisnelayan pasti akan kehilangan kerjaannya dan kehidupannya. Belum lagi yang bakal digusur untuk bikin pertambangan ini. Yang paling rugi ya penduduk lokal,” tulisnya.

“Jadi udah ilegal, merusak, dan ditolak penduduk, tapi masih aja, rencana berjalan.” Seperti Kaka, saya berharap sejarah kelam pertambangan di Pulau Bangka Sumatra tidak berulang di Pulau Bangka Sulawesi. Mari kita dukung petisi save bangka!. Karena menyelamatkannya kini belumlah terlambat.


Posting ini sebelumnya diambil dari : indonesiana.tempo.co|oleh: Zamzami Tanjung

Video ini didedikasikan untuk perjuangan masyarakat Pulau Bangka menolak tambang bijih besi.