Salah satu pohon Bangkirai di hutan adat desa Delang, Kudangan. Foto: Nasrudin Ansori ** |
Hutan bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat adanya tumbuhan yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi masyarakat adat, hutan merupakan simbol dari sebuah harga diri.Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan tersendiri dengan mereka.
Pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat lokal sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat mengerti akan pentingnya hutan sebagai tempat mencari nafkah, penyedia sumber daya, kawasan konservasi, penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya. Penerapan hal ini juga diperkuat dengan aturan-aturan yang mengikat. Seperti pemberian sanksi dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah.
Pembagian kawasan dalam hutan juga menjadi bagian dari pengelolaan hutan oleh masyarakat. Pembagian kawasan ini memiliki beragam fungsi, seperti kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan pertanian, kawasan untuk berburu dan kawasan terlarang/ hutan larangan dan lain sebagainya,tergantung kearifan lokal dari masing-masing daerah.Kawasan-kawasan tadi digunakan sesuai dengan fungsinya, misalnya kawasan pertanian harus digunakan hanya untuk kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan kawasan berburu. Kawasan terlarang biasanya tidak boleh diganggu dikarenakan adanya situs-situs sejarah dalam kawasan hutan tersebut. Namun fungsi lain dari kawasan ini juga sebagai kawasan konservasi, menjaga mata air atau wilayah-wilayah berlereng agar tidak longsor pada musim hujan.
Bagaimana dengan pengelolaan hasil hutan ? Pengelolaan hasil hutan dalam kawasan hutan tetap diberikan kepada masyarakat untuk mengelola namun harus tetap berpatokan kepada aturan-aturan adat yang berlaku. Aturan-aturan ini dimaksudkan supaya sumber daya hutan seperti kayu, rotan, damar dll itu tetap tersedia bagi semua orang yang membutuhkan serta berkelanjutan. Misalnya pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah telah ditentukan jenis kayu dan umurnya sehingga kayu yang ditebang tersebut memang sudah bisa digunakan supaya tidak ada pembalakan liar dalam kawasan hutan adat.
Hal yang menjadi sangat penting bahwa hutan memiliki manfaat ekonomi, sosial, budaya hukum dan politik secara langsung Masyarakat setempat dan sekitarnya. Komunikasi yang baik dan jelas atas rencana masyarakat dalam mengelola hutan kepada Pemerintah Daerah sangat penting untuk tetap dilakukan,agar mereka mau memahami apa yang sedang di upayakan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam menyelamatkan hutan dan mengentaskan kemiskinan. Banyak peluang kedepan untuk mengelola hutan bersama masyarakat, walaupun tantangan dan ancaman terus menerus dihadapi tidak berhenti baik dari dalam masyarakat maupun dari luar (kebijakan dan investasi). Kekuatan masyarakat lokal paling penting dalam menyelamatkan dirinya sendiri secara bersama-sama.
Puncak Gunung Lumut dari Kampung Suku Muluy. Foto: Hendar | Mongabay *** |
Hutan bagi masyarakat lokal merupakan dunia, sumber kehidupan. Kedudukan dan peran hutan seperti itulah yang mendorong masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri. Untuk melakukan hal itu, masyarakat lokal harus dibekali oleh mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup dan pelestarian alam. Selain itu untuk memelihara, menjaga dan melindungi keberadaan hutan itu muncul dari perlakuan adat istiadat, peranan institusi adat dalam pengaturan sangsi dan denda serta mekanisme yang berkembang secara alamiah dari alam.
Hutan bagi masyarakat lokal memang berperan sangat besar, ini terbukti dari sumber mata pencaharian mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya juga bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang, semua didapat dari hutan. Seluruh bangunan berbahan kayu, tentu saja saat ini sudah banyak rumah panjang yang menggunakan seng sebagai atap rumah, paku baja sebagai pengikat dan pasak. Sebelum ada semua itu, bahan dasar pembuat rumah panjang dari kayu dan rotan. Demikian juga alat angkut, seperti sampan, lalu alat-alat rumah tangga seperti tikar, bakul dan alat-alat berperang seperti perisai, sumpitan, semua terbuat dari kayu.
Kita bisa melihat beberapa kearifan lokal dari masyarakat di Indonesia dalam menjaga hutannya. Masyarakat suku Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya mereka membagi wilayah mereka (Binua) kedalam beberapa bagian, seperti masyarakat adat Dayak Simpakng yang menunjukkan kearifan mereka dalam mengelola sumber daya alam seperti :
1. Proses Perladangan
Sistem perladangan (Uma – Dayak Simpakng, Umai – Dayak Iban, Muh- Dayak Mayau, Huma – Dayak Kanayatn, Lakau- Dayak Jalai, Lako – Dayak Krio dan Pawan) pada beberapa sub-suku Dayak dilaksanakan melalui proses yang sangat arif dan bijaksana.
Pada masyarakat adat Dayak Simpakng sebelum mereka membuka hutan mereka melakukan upacara adat nudok angko tautn, yakni upacara adat membuka tahun, meminta ijin pada Duwata (Tuhan), kemudian dilanjutkan dengan ngusok/nurutn tagor yaitu survei calon kawasan ladang, dan meminta ijin pada Menkedum Jembalang Tonah dan Puyaknggana (Duwata pemilik hutan). Upacara ini juga untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah, menghindari sumber mata air, pohon kayu madu, kayu damar, dan buah-buahan, serta menghindari tembawang dan tanah keramat.
Adapun tahapan perladangan masyarakat adat Dayak Simpang adalah sebagai berikut :
- Musyawarah batas, maksudnya menentukan batas ladang dan meminta ijin pada pemilik diareal perladangan nantinya. Jadi harus ada mufakat dalam musyawarah tersebut.
- Minu (menebas), setelah mendapatkan lahan hal yang perlu dilakukan adalah penebasan. Alat yang digunakan seperti bore (parang), baliokng (beliung). Ketika melakukan penebasan tersebut lahan yang bersangkutan tiba-tiba dihinggapi oleh panginget/penyinyet (lebah madu) maka lahan itu harus segera ditinggalkan dan mencari lahan baru.
- Nobakng (menebang), dalam melakukan aktifitas ini ada beberapa aturan yangharus ditaati, yaitu tidak boleh mengenai usaha orang lain, jamih (bawas) orang lain, pohon madu, kebun, kampokng buah, keramat. Jika kejadiannya tidak disengaja maka yang bersangkutan harus segera memberitahukan kepada pemiliknya.
- Mpo ropa (masa pengeringan), masa ini berkisar antara 1,5 – 2 bulan, tergantung dari kondisi iklim. Bila panas terus menerus maka daun, ranting, dahan dan batang kayu akan cepat kering. Bila demikian maka ladang akan dibakar hangus (mosu). Hangus tidaknya sebuah ladang yang akan dibakar sangat menetukan tingkat kesuburan tanaman baik padi maupun tanaman sayur mayur lainnya.
- Miadakng (membuat sekat bakar), merupakan proses pembersihan disekeliling muh (ladang) yang sudah ditebang dengan tujuan agar api tidak menjalar ketempat lain.(me lada’ – Dayak Jalai, lale’ – Dayak Iban, watah – Dayak Hibun)
- Ngucol (membakar), setelah miadakng maka dilakukan pembakaran, namun sebelum dilakukan pembakaran semua warga yang ladang, kebun atau usaha lain yang berdekatan dengan ladang yang akan dibakar harus diberitahukan terlebih dahulu. Membakar juga harus berlawanan dengan arah angin, tidak boleh membakar dimusim angin kencang dan panas terik, dan biasanya pembakaran dimulai pukul 14.00 wib.
- Ngarorak, jika di hutan rimba setelah pembakaran selama minimal 3 hari tidak boleh keladang karena masih ada bara yang menyala. Ketika api sudah padam maka kayu yang tidak habis terbakar disingkirkan kegiatan inilah yang dinamakan ngarorak. Tumpukan kayu bekas bakaran itu namanya panok. Panok itu akan dibakar sebelum pulang pada pukul 18.00 wib. Areal bekas membakar panok itu akan subur untuk menanam cabe, jahe, kunyit, terong dan sebagainya.
- Tamurok (menanam padi), kegiatan penanaman padi ini biasanya dilakukan 2 orang seorang laki-laki yang membuat lobang diikuti dibelakangnya, seorang wanita, yang melakukan penanaman benih padi. Alat yang digunakan adalah tugal yang panjangnya 2,5 meter dengan diameter 3 cm ujungnya diruncingkan agak tumpul.
- Miobuh (merumput), sekitar 1,5 bulan setelah padi ditanam dilakukan pembersihan rumput diladang, tujuannya agar rumput tidak mengganggu pertumbuhan padi.
- Biti ampar kuning podi, setelah merumpun kegiatan berladang berhenti sampai masa panen tiba, masa 3 minggu- 1bulan digunakan untuk perbaikan jalan ke pondok, membuat tempat pemberhentian (mpadas/ mpalakng) sebelum padi di masukkan kedalam jurokng (lumbung). Mereka juga kadang menoreh karet untuk kemudian dijual kepasar.
- Ngotump (panen), padi yang dipanen ini harus benar-benar masak, jika belum maka padi itu akan cepat busuk jika disimpan, padi yang pertama masak diambil dan setiap anggota keluarga harus mencicipi berasnya. Sebelum panen ada upacara adat yang bernama mota dan ngamaru. Mota adalah upacara yang menyatakan bahwa panen akan dimulai dan ngamaru upacara pemberitahuan bahwa padi hasil panen itu akan dimakan oleh anggota keluarga.
- Gawe Tautn (upacara syukuran), upacara syukuran yang melibatkan seluruh warga di kampung yang bersangkutan. Didalamnya terdapat makan-makan bergendang (tarian), minum tuak, menari dan sebagainya dan upacara ini dilakukan di rumah betang atau rumah panjang.
- Bacucok batonam (bersosok tanam), ladang yang baru dipanen padinya dinamakan jamih atau bawas. Jamih ini dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
- Jamih mongut (bawas muda dibawah 5 tahun)
- Jamih malakng (bawas yang subur berumur sampai 7 tahun)
- Jamih muntuh (bawas tua yang berumur 7-25 tahun)
Jamih bisa ditanami tanaman keras seperti karet, pohon madu, kayu belian, keladan, dan lain-lain. Sedangkan buah-buahan seperti diatn (durian), ramut (rambutan), duku, rosat (langsat), galimikng (belimbing), pakawe (sejenis durian), kunyet, sore, pinang, nyior, sireh, tuba, itu semua ditanam disekitar pondok (dango).
2. Pengelolaan Kebotn gotah buah janah
Kearifan masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya, yaitu menanam lahan bekas berladang dengan tanaman keras. Bibitnya telah disiapkan 6 bulan – 1 tahun sebelum panen berakhir. Bibit ini diambil dari lahan lain, ketika lahan ditinggalkan selama 7-10 tahun maka sudah siap dipanen.
3. Pengelolaan pohon madu
Pohon madu yang dimaksud adalah pohon yang biasa digunakan oleh lebah untuk membuat sarang. Pohon madu ini termasuk sebagai keramat pedagi (benda keramat)
4. Pengelolaan kawasan hutan cadangan
Kawasan hutan ini sangat dikeramatkan, ini merupakan hutan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, termasuk sebagai tonah colap tarutn pusaka. Ciri kawasan jenis ini adlaah bukit atau gunung yang didalamnya terdapat banyak tanaman obat, tanaman langka, banyak binatang, sungai yang masih banyak ikan, dan terdapat aneka bahan bangunan, kawasan tersebut telah ditetapkan dan diwariskan secara turun temurun dan pengelolaannya diatur dalam hukum adat. Biasanya kayu boleh diambil untuk keperluan hidup bukan untuk diperjualbelikan.
5. Pengelolaan keramat
Masyarakat suku Dayak selain memiliki wilayah keramat didaratan juga di lubuk sungai. Tempat seperti ini dipelihara, dilindungi dan dihormati oleh warga masyarakat. Didaerah tersebut tidak boleh ada kegiatan apapun kecuali upacara adat yang dilakukan 3 kali dalam setahun.
6. Pengelolaan Tembawang
Kawasan ini adalah bekas lahan yang telah ditinggalkan selama 5-10 tahun ditandai dengan banyak tanaman keras dan juga beberapa bekas perabot rumah tangga. Tembawang dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu :
- Tembawang rumah/ kambokng, terdapat dirumah
- Tembawang dango, terdapat disekitar pondok ladang 2-5 tahun yang lalu.
- Tembawang dukoh, terdapat disekitar pondok semi permanen yang pernah didiami antara 5-10 tahun.
- Tembawang bagant, terdapat di rimba, sempat didiami selama 3 minggu sampai sebulan kegiatan berburu.
7. Pengelolaan Jamih
Jamih adalah lahan bekas ladang, dan biasanya masih dirawat oleh pemiliknya karena akan diladangi lagi sekitar puluhan tahun lagi. Antara jamih dengan jamih lainnya ada batasan (bat) biasanya batasan ini berupa sungai, kayu yang tahan lama seperti kayu belian, bambu hidup, tanaman buah seperti durian atau angkabakng (tengkawang)
8. Pengelolaan are sungai
Air sungai merupakan sumber kehidupan lain bagi masyarakat suku Dayak. Agar air sungai dapat digunakan untuk masyarakat maka masyarakat Dayak tidak pernah berladang di tepi sungai, sehingga kayu yang berada di pinggir aliran sungai akan tetap ada yang berguna juga untuk pelindung dan penangkal erosi. Terkadang masyarakat Dayak melakukan ritual untuk menuba di aliran sungai tetapi menuba itu pun tidak boleh tiap hari. Ada upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan penubaan
9. Mokatn tonah dan Nungkat Gumi
Tujuan pelaksanaan adat ini adalah memulihkan kembali hutan kawasan adat yang dikelola oleh warga masyarakat lokal. Upacara Nungkat Gumi dilakukan setiap 7 tahun sekali selama 7 hari 7 malam. Setelah upacara itu masyarakat melakukan pantakng ponti, dan selama masa pantangan itu tidak diperbolehkan memetik tanaman (balayo), me bia ikatn dari amun toruh tanyokng ka soju, toruh tanyokng ka soba (tidak boleh mengambil ikan tujuh tanjung kehilir dan kehulu dari sungai tempat mandi mereka), memotong atau makan hewan potongan, nyingor (bersiul), berpesta dan sebagainya.
Ladang dan Hutan Kalimantan. Foto: RH Pras **** |
Dari penjelasan diatas maka terlihat bahwa Masyarakat suku Dayak mempunyai kearifan terhadap lingkungan yang sangat tinggi, walaupun terkadang mereka di tuding sebagai aktor perusak lingkungan karena mereka melakukan sistem pertanian dengan sistem ladang berpindah
Hampir 80% masyarakat suku Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan lading berpindah tetapi ladang bergilir. Sebab sistem perladangan dari masyarakat Dayak ini berladang dilahan lain untuk memberi kesempatan lahan lama itu cukup tua (10-15 tahun) yang nantinya akan mereka ladangi lagi. Sistem pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan atas tanah yang relatif kurang subur. Menurut Prof. Dr. Syarif Ibrhamim Alqadri dari FISIP Universitas Tanjungpura, sistem perladangan seperti ini tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan. Daur perladangan sekitar 10-15 tahun secara teratur menyebabkan hutan subur berkelanjutan.
Aktifitas berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Tanpa hutan, maka tidak akan ada ladang. Dalam berladang lahan yang dibutuhkan tidak luas maksimal hanya 1,5 hektar, setelah panen ladang ditanami pepohonan seperti karet, tengkawang, rotan, dan aneka jenis buah. Dalam waktu 10-15 tahun lahan tersebut telah berubah menjadi hutan kembali. Menanami ladang dengan pepohonan adalah wajib bagi setiap peladang. Kewajiban itu tidak terlepas dari adat yang dipegang oleh masyarakat Dayak. Jadi tidaklah mengherankan apabila hutan adalah eksistensi masyarakat Dayak.
Contoh diatas merupakan sebagian kecil dari ratusan kearifan lokal masyarakat lokal nusantara dalam menjaga kelestarian hutan sebagai tangung jawab dan harga diri mereka. Hutan dipandang bukan saja sebagai penyedia kayu atau hasil hutan tapi merupakan bagian dari lingkungan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat lokal. Ketergantungan inilah yang menjadikan hutan bagi masyarakat menjadi sangat penting. Hal ini telah disadari bukan baru saat ini atau kemarin tapi sejak para leluhur dulupun mereka sudah mengerti akan arti pentingnya melestarikan hutan.
Ayo…………..
lestarikan hutan kita…!!!!!
Hutanku hijau, bumiku lestari….!!!!
** Foto Nasrudin Ansori dalam artikel Suku Dayak Tomun di Lamandau (Trip With Trans TV) Part 1
*** Foto Hendar dalam artikel Mongabay Travel: Kearifan Alam Dayak Paser dan Misteri Keragaman Hayati Gunung Lumut
**** Foto Ladang dan Hutan Kalimantan. Foto: RH Pras _ Dalam perjalanan Balikpapan - Banjarmasin, saya berhenti di tepi jalan sekitar wilayah Kuaro untuk istirahat dan menikmati luasnya hutan di kalimantan. Terlihat jelas masyarakat setempat membuka lahan hutan untuk sawah & ladang mereka. Diharapkan bukan sawah berpindah, karena jika benar mereka akan terus membuka lahan baru dan mempersempit luasan hutan kaltim....belum lagi masalah tambang batubara yang sangat merusak lingkungan....
Sumber: Kesiadi Antang | Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar